Sejak beberapa bulan kemarin saya ingin sekali membuat sketsa beberapa tempat yang punya arti membekas di ingatan dan dalam bulan-bulan setelahnya saya mulai membuat daftar tempat-tempat ini. Setidaknya menjadi cara untuk menyimpan dan membangkitkan ingatan.
Rekaman foto atau video memang lebih analogon dari sketsa. Roland Barthes telah membincangkan kekuatan kedua media ini dalam soal representasi, dengan kekuatannya tersebut selembar foto atau video tak memberi kita ruang untuk mengelak dari subjek yang direpresentasikan. Foto seorang anak tak memberi kita ruang untuk berpikir selain ikon anak tersebut.
Bagi saya membuat sketsa punya kenikmatan yang berbeda dengan media rekam seperti video atau pun foto. Saya lebih bisa merasakan kedekatan dengan subjek yang saya gambar. Saya lebih bisa berimajinasi setelah melihat hasilnya. Meski demikian, baik sketsa, foto, maupun video adalah kerja-kerja meng-konstruk realitas suatu subjek atau peristiwa. Sebagai tambahan membuat selembar sketsa membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding menekan tombol klik pada kamera.
Tempat Pertama: Baruga
Siang kemarin, hasrat untuk mencoret memaksaku singgah di tempat ini, saat itu sepi. Kami menyebut tempat ini dengan nama Baruga, sesuai dengan nama yang diberikan oleh universitas Hasanuddin. Hanya saja saya dan kebanyakan teman-teman yang lain seringkali dan sangat sering tak mengikutkan nama tokoh dibelakangnya. Kalau ditanya kenapa, jawabnya mungkin tidak bertele-tele apalagi penuh muatan politis: singkat dan telah menjadi pengetahuan yang sudah terlampau umum dikalangan kami.
Baruga: Ruang, Ingatan dan Pemaknaan
Tidak semua tempat dimaknai secara tunggal, demikian halnya dengan Baruga. Sebagian orang mungkin memaknai tempat ini berdasarkan fungsinya sebagai tempat wisuda atau tempat seminar-seminar atau pun tempat penyelenggaraan pagelaran. Bagi para pedagang yang dulu menjual di sekitar tempat ini, mereka mungkin memaknainya sebagai ladang mencari nafkah. Bagi saya pribadi, Baruga menjadi ruang paling melenakan, apalagi di musim kemarau seperti sekarang ini, angin di pelataran sisi barat gedung ini tak hentinya menyejukkan.
Perjumpaan awal saya dengan tempat ini terjadi di bulan agustus tahun 2000, saat itu saya mengikuti masa orientasi bagi mahasiswi dan mahasiswa baru ilmu komunikasi dan Baruga menjadi rumah bagi kami sejak saat itu. Selanjutnya di awal-awal perkuliahan tempat ini juga menjadi salah satu titik ruang untuk berdiskusi dari tema-tema hijau hingga merah, dari kanan hingga kiri, dari konservatif hingga liberal, dari materialis hingga metafisik. Saya masih ingat ketika suatu hari, kami harus menundukkan kepala dan mengecilkan suara pada suatu diskusi, maklum tema yang diperbincangkan saat itu dianggap bisa menyesatkan. Saat membayangkan hal itu kembali, saya sering tersenyum-senyum sendiri, rupanya pernah juga saya merasakan bagaimana menjadi marginal dalam hal pilihan-pilihan gagasan.Tetapi saya selalu mensyukuri pengalaman-pengalaman tersebut. Bagaimanapun pengalaman-pengalaman itu adalah titik awal bagi saya untuk melihat diri dan dunia dengan beragam perspektif. Pengalaman-pengalaman itu membuat kaya rasa. Terpujilah Tuhan atas nikmat-NYA.
Beberapa tahun lalu Baruga bak jalur sutra, beragam gaya hidup dan kelas sosial meramaikannya dari berdiskusi, bisnis, ngopi dan makan, memadu asmara, menghabiskan waktu menunggu jam kuliah berikutnya, bermain domino, menyusun strategi aksi demonstrasi, tempat bersilaturrahmi dengan kawan lama atau sekedar berlalu lalang - khusus yang terakhir ini saya biasa menyebutnya catwalk.
Di waktu itu, saya juga pernah membuat beberapa sketsa, sebagian entah di mana dan sebagian lainnya terpanggang api dan menjadi debu. Di tahun 2006 para pedagang dipindah-tempatkan di lokasi yang baru. Layaknya dalam prinsip survival; dekat dengan sumber makanan, kepindahan para pedagang ini juga diikuti oleh para pembelinya, dan Baruga perlahan-lahan menjadi sepi, yang paling bertahan mungkin hanyalah latihan bela diri Karate. Jalur-jalur lalu lintas juga bertambah. Orang-orang yang berlalu lalang juga makin sepi dan baruga sebagai catwalk juga kehilangan para modelnya.
Sekarang setelah bertahun-tahun lewat saya jarang melalui tempat ini. Entah geliat apa yang terjadi di sana saya tak tahu sama sekali. Sekarang yang bertahan adalah ingatan tentang masa-masa itu, itu pun juga telah mulai kukunci rapat dalam kepala, sebagian telah kusingkirkan termasuk lewat lewat sketsa-sketsa dan catatan singkat ini. Tak semua ingatan mesti dirawat dalam kepala.
6 komentar:
sketsanya bagusss sekali kak harwan...^^
makasih pujiannya...doakan agar bisa terus meng-upload sketsa2 yang lain.
hmm,sketsa tempat ini membuatku selah menaiki kereta tujuan masa lalu.saat kemeja longgar dan celana yang sedikit lagi kedodoran dan wajah lesu dikerjai senior....anehnya,aku merindukannya kak...:)
iya, masa2 itu darma dan teman2 yg lain jadi pusat semesta di kosmik... Kalo mengingat saat2 itu saya selalu bersyukur, terlalu banyak hal membahagiakan.
saya menyukai bait terakhir dari tulisan anda...hehehe..
Hmmm... Saya jg suka dng anda... Hehehe...
Posting Komentar