Sabtu, 07 Mei 2011

Membayangkan Gabriel García Márquez (bag. awal)

Di lantai dua yang berlantai kayu, Gabriel duduk di bangku yang berderit setiap ia bersandar menarik udara ke dalam paru-parunya, dan mengeluarkannya nyaris tanpa desah, jauh, dan hampir bisu. Tapi saat ia berdiri bangku itu tak mengeluarkan suara apa-apa. 

Disampingnya jendela terbuka lebar dan orang-orang, tua dan belia, perempuan dan laki terlihat jelas berlalu lalang atau menggelandang di jalan-jalan yang tak lebar, basah dengan air menggenang seperti cermin, menimbulkan bayangan yang ramai dan beraneka warna. Dihadapannya, di atas meja kayu ber-plitur yang hampir kehilangan kilapnya, ia menarik selembar kertas dari mesin ketik tua, beberapa huruf pada tombolnya memudar oleh ujung-ujung jari. Ia telah bekerja keras cukup lama. 

Gabriel mengendurkan dahinya, tanpa tak disadarinya, kerut yang bergaris-garis bersusun lima menghilang pelan tapi tetap berbekas. Matanya menyorot puas, kumis yang mulai menebal dan hampir menutupi bibir atasnya terangkat oleh senyumnya. Sedikit lagi, anaknya akan lahir, kesakitannya telah lewat, dilupakan dan terlupa. 

Hujan tropis baru saja menyerbu, berbulan-bulan menemaninya, ia membayangkan Kolombia yang basah, hutan-hutan hijau, tanah-tanah coklat dan hitam, pekat menyerap basah. Gabriel berdiri, melangkah ke jendela yang terbuka lebar, tirai-tirai putih berenda lembab dan apek, bangku kayu terdiam, dan bayangannya memantul samar di kayu, di lantai kamarnya. Mercedes masih tertidur pulas, ia memandangnya penuh keajaiban, mengenang tahun-tahun yang lewat ketika ia merubah arah, ketika Mercedes tak bertanya apa-apa tentang tindakannya.

Di jendela itu ia mengenang ingatan-ingatan yang sunyi, kaki-kaki yang melepuh, menghirup bau tanah, harumnya pisang yang hijau menguning dan bubuk mesiu yang menyengat udara, menyerapnya dalam-dalam, membawanya masuk ke semua aliran darahnya, menjadi daging dan tubuh, menjadi kesunyian yang berumur, hidup, dan penuh gairah. "Oh Kolombia, aku mencintaimu, mencintai tanah-tanahmu, mencintai kehidupan diatasmu, mencintai tragedimu." 

Lalu sunyi yang tak pernah ia hitung, buyar dalam langkahnya yang sedikit memburu. Dikepalanya keluarga Beundia masih berlari-lari, liar mengejar, menuntut akhir cerita mereka. "Waktunya menuntaskan," bathinnya mengeras.


                                                                    ******** 

   

0 komentar:

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates