Dinda, siang kemarin, aku tersentak dalam ruang baru. Demikian cepat perpindahan yang kurasakan sampai aku seringkali dihinggapi kekagetan ruang. Kemarin aku masih bersama denganmu, kini hanya dalam beberapa jam aku sudah berada di ruang lain. Ruang yang sama sekali berbeda dengan ruang keseharian kita. Kali ini aku ceritakan padamu tentang konstruksi landscape di kawasan rumah adat di kelurahan Attakae. Aku masih ingat, tempo hari engkau pernah menceritakan tentang tempat itu padaku.
Sekarang aku tengah duduk di bangku yang melingkari beranda rumah panggung raksasa . Di sekitarku juga berdiri rumah panggung lainnya yang dianggap mewakili identitas tiap-tiap kecamatan. Melalui rumah-rumah ini, ke-Wajo-an dikotak-kotakan dalam kecamatan yang berbeda. Ke-Wajo-an dipecah dan diramu ulang mengikuti nafas logika pemerintahan. Padahal jika diperhatikan tidak ada perbedaan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya kecuali rumah dimana saya sedang duduk diberandanya. Posisinya sendiri dibuat menonjol dengan ukurannya yang besar dan megah serta letaknya yang dibangun pas di pusat di mana rumah-rumah lainnya berjejer di sekitarnya.
Rumah ini sendiri dibangun -saat rezim orde baru berkuasa- di area yang cukup luas dengan konsep yang berusaha dimiripkan dengan Taman Mini Indonesia. Dari tata letak, pandangan pusat dan pinggiran masih tertanam kuat pada arsitektur yang merancang kawasan kompleks. Jadi keberagaman diakui tapi dengan catatan penting ada pusat dibalik pengakuan itu.
Landscape buatan ini dikonstruksi sedemikian rupa untuk merasakan ke-wajo-an. Rupanya proyek strategi kebudayaan rezim orde baru masih terasa hingga sekarang. Setidaknya pada penataan budaya yang dianggap lokal. Sebagai tambahan ditingkatan yang dipandang lokal juga terjadi reduksi antara pusat dan pinggiran atau bisa dibilang identitas wajo ditingkatan kecamatan satu dengan kecamatan lainnya berbeda.
Kuatnya paradigma budaya orde baru juga memunculkan masalah di pasca reformasi ini, di mana orang-orang elit daerah sampai bingung bagaimana mencari kelokalan dalam diri mereka. Contoh paling sederhana adalah spanduk dan baliho yang menyebut diri mereka sebagai keturunan-keturunan ber-darah biru di saat kampanye pemilu ditingkatan daerah. Kelokalan bagi mereka adalah bagaimana mengambil masa lalu sebagai modal politik.
Pemandangan seperti ini tak pernah kita jumpai di saat orde baru berkuasa. Maklumlah di era itu sentralisasi pusat sangat kuat. Sekarang, di masa desentralisasi, setiap daerah berbicara tentang otonomi daerah, tameng kuasa untuk mengatur dirinya sendiri. Usaha meruntuhkan pusat tidak sepenuhnya berhasil, malah pusat meluber di mana-mana.
Tak aneh rasanya, jika kita membaca salah satu spanduk di Wajo yang menuntut daerahnya menjadi ibu kota kecamatan. Kemarin aku juga mendengar seorang penelpon di salah satu stasiun televisi swasta. Ia mengeluhkan tentang tidak adanya pemerataan pembangunan di kabupaten tempat ia tinggal. Makanya ia menuntut agar daerahnya juga dimekarkan menjadi kabupaten baru. Pemekaran kemudian dilihat sebagai solusi. Jangan-jangan masalah bangsa ini substansinya bukan antara sentralisasi atau desentralisasi, bukan pula pemekaran atau tidak. Tapi soal pembangunan yang tidak terdistribusi dengan adil. Meski demikian sekali-kali kita perlu bertanya ulang tentang apa yang kita pahami dengan pembangunan.
Apa yang kutuliskan di atas engkau punya hak untuk tidak bersepakat. Tapi tunggulah sebentar, biar kulanjutkan lagi kisahku.
Sekarang aku tengah duduk di bangku yang melingkari beranda rumah panggung raksasa . Di sekitarku juga berdiri rumah panggung lainnya yang dianggap mewakili identitas tiap-tiap kecamatan. Melalui rumah-rumah ini, ke-Wajo-an dikotak-kotakan dalam kecamatan yang berbeda. Ke-Wajo-an dipecah dan diramu ulang mengikuti nafas logika pemerintahan. Padahal jika diperhatikan tidak ada perbedaan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya kecuali rumah dimana saya sedang duduk diberandanya. Posisinya sendiri dibuat menonjol dengan ukurannya yang besar dan megah serta letaknya yang dibangun pas di pusat di mana rumah-rumah lainnya berjejer di sekitarnya.
Rumah ini sendiri dibangun -saat rezim orde baru berkuasa- di area yang cukup luas dengan konsep yang berusaha dimiripkan dengan Taman Mini Indonesia. Dari tata letak, pandangan pusat dan pinggiran masih tertanam kuat pada arsitektur yang merancang kawasan kompleks. Jadi keberagaman diakui tapi dengan catatan penting ada pusat dibalik pengakuan itu.
Landscape buatan ini dikonstruksi sedemikian rupa untuk merasakan ke-wajo-an. Rupanya proyek strategi kebudayaan rezim orde baru masih terasa hingga sekarang. Setidaknya pada penataan budaya yang dianggap lokal. Sebagai tambahan ditingkatan yang dipandang lokal juga terjadi reduksi antara pusat dan pinggiran atau bisa dibilang identitas wajo ditingkatan kecamatan satu dengan kecamatan lainnya berbeda.
Kuatnya paradigma budaya orde baru juga memunculkan masalah di pasca reformasi ini, di mana orang-orang elit daerah sampai bingung bagaimana mencari kelokalan dalam diri mereka. Contoh paling sederhana adalah spanduk dan baliho yang menyebut diri mereka sebagai keturunan-keturunan ber-darah biru di saat kampanye pemilu ditingkatan daerah. Kelokalan bagi mereka adalah bagaimana mengambil masa lalu sebagai modal politik.
Pemandangan seperti ini tak pernah kita jumpai di saat orde baru berkuasa. Maklumlah di era itu sentralisasi pusat sangat kuat. Sekarang, di masa desentralisasi, setiap daerah berbicara tentang otonomi daerah, tameng kuasa untuk mengatur dirinya sendiri. Usaha meruntuhkan pusat tidak sepenuhnya berhasil, malah pusat meluber di mana-mana.
Tak aneh rasanya, jika kita membaca salah satu spanduk di Wajo yang menuntut daerahnya menjadi ibu kota kecamatan. Kemarin aku juga mendengar seorang penelpon di salah satu stasiun televisi swasta. Ia mengeluhkan tentang tidak adanya pemerataan pembangunan di kabupaten tempat ia tinggal. Makanya ia menuntut agar daerahnya juga dimekarkan menjadi kabupaten baru. Pemekaran kemudian dilihat sebagai solusi. Jangan-jangan masalah bangsa ini substansinya bukan antara sentralisasi atau desentralisasi, bukan pula pemekaran atau tidak. Tapi soal pembangunan yang tidak terdistribusi dengan adil. Meski demikian sekali-kali kita perlu bertanya ulang tentang apa yang kita pahami dengan pembangunan.
Apa yang kutuliskan di atas engkau punya hak untuk tidak bersepakat. Tapi tunggulah sebentar, biar kulanjutkan lagi kisahku.
2 komentar:
Terima kasih untuk blog yang menarik
terima kasih kembali untuk kunjungannya... salam
Posting Komentar