Bagaimana kabarmu? Maaf, semalam aku tak mengabarkan ketika sopir itu datang menjemput dan membawaku pergi. Aku tak bisa menghubungimu, pulsaku drop hampir di titik nol. Saat seperti ini kutimbang kembali arti media dan teknologi komunikasi bagi manusia. Mereka tak setiap saat bisa menjadi perpanjangan kita. Bahkan perpanjangan ini tak lepas dari kontrol. Tentunya aku tak dapat menghubungimu jika kotak hitam ini tak memiliki pulsa. Meski kupaham kau pasti sangat mengerti. Suatu hal yang harus kupelajari lebih banyak darimu.
Aku tiba di Sengkang subuh tadi. Roda empat yang kutumpangi menyudahi jarak dalam 3 jam. Jalan sepi kendaraan, seolah-olah hanya ada kami yang berburu dalam kantuk yang riskan. Aku tak bisa nyenyak. Benturan dengan jalan yang berlobang dan kelokan seringkali menghempaskan tubuhku yang memang kecil. Pohon dan benda yang kulalui berlalu dengan cepat dibelakangku. Kutimbang dalam kepalaku, speedometer pastilah di atas seratus. Ini perjalanan tercepat yang pernah kutempuh melalui jalur ini.
Sekali-kali kami berpapasan dengan pengendara lain, lampu jauhnya menyorot kencang menyilaukan sampai di jok belakang tempat aku duduk. Para sopir malam memliki indera perasa yang kuat terhadap jalan, mereka terbiasa dengan hal ini. Meski kadang terdengar gerutu dari bibir, mereka terus melaju dengan cepat. Di jalan tadi, kurang dari setengah jam perjalanan, kami juga berpapasan dengan mobil patroli polisi. Sopir kami turun dan memberi jatah malam, katanya,” saya beri sepuluh ribu, mereka mengerti kalau angkutan lagi sepi.” Tindakan ini sudah menjadi ritual di jalan, sudah tiga kali aku menumpangi mobil ini dan praktik memberi jatah tak pernah kulewatkan.
Bertahun-tahun yang lalu, hal serupa kutemui bersama seorang sopir truk kampas (istilah bagi truk pembawa barang). Hidupnya dihabiskan di jalan hampir sepanjang minggu. Jalur perjalanan dari Makassar -toraja hingga Makassar –Sorowako ditempuh bersama dua anggotanya. Beragam barang konsumsi yang ia bawa dari penganan dengan kemasan plastik, hingga minuman botol untuk suplemen penguat maupun memabukkan. Ritual memberi jatah dilakukan di setiap kabupaten yang kami lewati.
Para sopir tahu betul ‘kantung-kantung’ yang mesti mereka singgahi. Cara memberinya pun dilakukan lewat beragam cara mulai dari diselipkan di bawah STNK dan SIM hingga dimasukkan dalam kotak korek kayu, jarang diberikan secara terbuka. Belakangan kuketahui bahwa ini dilakukan sebagai cara mengelabui petugas. Kadang dalam kotak korek itu mereka hanya memasukkan tiga lembar uang seribuan. Ada kesenangan dari mereka saat melakukannya, biasanya diselingi celaan dan tawa keras. Ini salah salah satu lelucon sinis, menyedihkan di ulu hati. Seingatku, Franky Sahilatua -lewat salah satu lagunya- pernah bernyanyi “riang” tentang mereka.
Dinda, kisah ini hanyalah salah satu ritual di jalan. Kelak kan kuceritakan padamu sebagian sopir kampas juga punya hiburan lain. Akan kuceritakan pula bagaimana roda konsumsi di propinsi ini dijembatani oleh distribusi mereka. Bahkan perdagangan manusia juga marak di beberapa tempat. Dan tentunya mengapa permintaan atas barang-barang tertentu dominan di daerah satu dan tidak di daerah lain. Saat ini yang kupikir hanyalah pesan-pesanmu dalam benda ditanganku.
Sinar putih di cakrawala mulai keluar. Aku berdiri di depan gerbang pagar besi. Kudengar suara lelaki tua itu sedang menghadap patuh pada Sang Pencipta. “Tarik saja gemboknya, ndak terkunciji itu,” suara itu demikian akrab. Aku sekali lagi terselamatkan, kini waktunya istirahat setelah lelah menghantam dan kantung mataku tak bisa diajak lagi berkompromi.
Seharusnya tak kusudahi surat ini, memang tak pernah ada kata akhir bagimu dan bagiku. Ini hanyalah koma atau spasi, persinggahan sementara menuju kata baru. Masih banyak kata yang hendak kutuliskan. Besok aku kan menuliskanmu tentang landscape, salah satu subjek yang hangat diperbincangkan dalam displin geografi beberapa tahun belakangan ini. Sudah kutulis separuh dalam buku harianku. Penuh dengan gambar dan coretan. Aku hanya meminta doamu. Sungguh ada kekuatan misterius dibaliknya yang menggerakkanku. Semoga engkau baik-baik saja di sana, nikmati harimu dan berbahagia selalu. Salamku untukmu dan orang-orang yang kau kasihi.
Aku tiba di Sengkang subuh tadi. Roda empat yang kutumpangi menyudahi jarak dalam 3 jam. Jalan sepi kendaraan, seolah-olah hanya ada kami yang berburu dalam kantuk yang riskan. Aku tak bisa nyenyak. Benturan dengan jalan yang berlobang dan kelokan seringkali menghempaskan tubuhku yang memang kecil. Pohon dan benda yang kulalui berlalu dengan cepat dibelakangku. Kutimbang dalam kepalaku, speedometer pastilah di atas seratus. Ini perjalanan tercepat yang pernah kutempuh melalui jalur ini.
Sekali-kali kami berpapasan dengan pengendara lain, lampu jauhnya menyorot kencang menyilaukan sampai di jok belakang tempat aku duduk. Para sopir malam memliki indera perasa yang kuat terhadap jalan, mereka terbiasa dengan hal ini. Meski kadang terdengar gerutu dari bibir, mereka terus melaju dengan cepat. Di jalan tadi, kurang dari setengah jam perjalanan, kami juga berpapasan dengan mobil patroli polisi. Sopir kami turun dan memberi jatah malam, katanya,” saya beri sepuluh ribu, mereka mengerti kalau angkutan lagi sepi.” Tindakan ini sudah menjadi ritual di jalan, sudah tiga kali aku menumpangi mobil ini dan praktik memberi jatah tak pernah kulewatkan.
Bertahun-tahun yang lalu, hal serupa kutemui bersama seorang sopir truk kampas (istilah bagi truk pembawa barang). Hidupnya dihabiskan di jalan hampir sepanjang minggu. Jalur perjalanan dari Makassar -toraja hingga Makassar –Sorowako ditempuh bersama dua anggotanya. Beragam barang konsumsi yang ia bawa dari penganan dengan kemasan plastik, hingga minuman botol untuk suplemen penguat maupun memabukkan. Ritual memberi jatah dilakukan di setiap kabupaten yang kami lewati.
Para sopir tahu betul ‘kantung-kantung’ yang mesti mereka singgahi. Cara memberinya pun dilakukan lewat beragam cara mulai dari diselipkan di bawah STNK dan SIM hingga dimasukkan dalam kotak korek kayu, jarang diberikan secara terbuka. Belakangan kuketahui bahwa ini dilakukan sebagai cara mengelabui petugas. Kadang dalam kotak korek itu mereka hanya memasukkan tiga lembar uang seribuan. Ada kesenangan dari mereka saat melakukannya, biasanya diselingi celaan dan tawa keras. Ini salah salah satu lelucon sinis, menyedihkan di ulu hati. Seingatku, Franky Sahilatua -lewat salah satu lagunya- pernah bernyanyi “riang” tentang mereka.
Dinda, kisah ini hanyalah salah satu ritual di jalan. Kelak kan kuceritakan padamu sebagian sopir kampas juga punya hiburan lain. Akan kuceritakan pula bagaimana roda konsumsi di propinsi ini dijembatani oleh distribusi mereka. Bahkan perdagangan manusia juga marak di beberapa tempat. Dan tentunya mengapa permintaan atas barang-barang tertentu dominan di daerah satu dan tidak di daerah lain. Saat ini yang kupikir hanyalah pesan-pesanmu dalam benda ditanganku.
Sinar putih di cakrawala mulai keluar. Aku berdiri di depan gerbang pagar besi. Kudengar suara lelaki tua itu sedang menghadap patuh pada Sang Pencipta. “Tarik saja gemboknya, ndak terkunciji itu,” suara itu demikian akrab. Aku sekali lagi terselamatkan, kini waktunya istirahat setelah lelah menghantam dan kantung mataku tak bisa diajak lagi berkompromi.
Seharusnya tak kusudahi surat ini, memang tak pernah ada kata akhir bagimu dan bagiku. Ini hanyalah koma atau spasi, persinggahan sementara menuju kata baru. Masih banyak kata yang hendak kutuliskan. Besok aku kan menuliskanmu tentang landscape, salah satu subjek yang hangat diperbincangkan dalam displin geografi beberapa tahun belakangan ini. Sudah kutulis separuh dalam buku harianku. Penuh dengan gambar dan coretan. Aku hanya meminta doamu. Sungguh ada kekuatan misterius dibaliknya yang menggerakkanku. Semoga engkau baik-baik saja di sana, nikmati harimu dan berbahagia selalu. Salamku untukmu dan orang-orang yang kau kasihi.
0 komentar:
Posting Komentar