"Pamuji", ucapnya dalam medok yang kental saat kami saling menjabat tangan. "Saya sudah tiga tahun di Makassar, mencoba suasana baru", sambil tersenyum ia menjawab pertanyaan saya. Seorang lagi adalah kawannya bernama Andi. Keduanya berasal dari Yogyakarta. Sehari-hari mereka berjualan buku di los yang ia sewa di kawasan Tamalanrea.
Pamuji adalah salah seorang pemilik toko buku di luar dari toko-toko besar sekelas Gramedia. Toko-toko seperti mereka tersebar di beberapa titik di kota ini. Informasi tentang mereka beredar dari ruang-ruang pergaulan para penggiat diskusi yang hidup di kampus-kampus. Tak heran jika kebanyakan pelanggan mereka berasal dari kelas ini.
Pamuji adalah salah seorang pemilik toko buku di luar dari toko-toko besar sekelas Gramedia. Toko-toko seperti mereka tersebar di beberapa titik di kota ini. Informasi tentang mereka beredar dari ruang-ruang pergaulan para penggiat diskusi yang hidup di kampus-kampus. Tak heran jika kebanyakan pelanggan mereka berasal dari kelas ini.
Di tahun-tahun awal kuliah, saya juga kerap menyaksikan mereka menjual buku di sudut-sudut kampus. Tema yang ditawarkan juga beragam mulai dari sastra, teori dan pergerakan sosial, agama hingga filsafat. Ramainya diskusi dan aksi yang bak jamur saat itu, tidaklah bisa dilepaskan dari kehadiran mereka yang kadang bergerilya dari fakultas ke fakultas atau juga menetap di satu tempat(tempat ini kami sebut pocci' yang dalam bahasa Indonesia berarti pusar atau pusat). Cara mereka bertahan dan berkembang menjadi hal yang menarik untuk dipahami. Tentunya mereka memiliki kekuatan selain modal besar untuk memilih peruntungan ini.
Beda kenyamanan beda harga
Jangan berharap bahwa kita akan mendapat ruang senyaman atau sedingin toko-toko buku besar. Mereka biasanya hanya membutuhkan ruang dengan 3 X 6 hingga 4 X 6 meter tanpa mesin pendingin ruangan. Meski demikian mereka juga memiliki pelanggan setia dan royal. Salah satu strategi yang digunakan menarik pelanggan adalah memberi diskon, tak tanggung-tanggung 20 persen bahkan ada yang sampai 70 persen. Saya biasa membandingkan harga buku yang mereka jual dengan harga di toko-toko besar. Perbedaannya lumayan besar, bisa sampai 12 ribu rupiah. Apalagi pada bulan-bulan tertentu beberapa toko buku kecil ini seperti Papirus memberi diskon spesial hingga 70 persen. Seorang kawan pernah berujar, keuntungan terbesar dari bisnis penerbitan buku justru diperoleh distributor dalam hal ini toko-toko buku besar. Mereka bisa mendapatkan keuntungan sebesar 35 persen dari total biaya produksi satu judul buku. Makanya tak heran kalau buku yang mereka jual bisa lebih mahal. Apalagi kalau buku tersebut diedarkan di luar pulau Jawa. Saya juga kerap memesan buku pada teman-teman yang sedang ke Yogyakarta atau Jakarta. Perbedaan harganya lumayan besar. Buku seharga 60 ribu rupiah, di sana bisa didapatkan dengan harga setengahnya. Rupanya biaya distribusi membuat harga buku membengkak. Kemungkinan hal ini juga dilihat oleh Pamuji sebagai ruang untuk mencoba peruntungan. Saya beralasan demikian dikarenakan harga jualannya masih tergolong tinggi.
Selera pembeli: beda tempat beda genre
Bagi saya pribadi, selain harga hal yang membuat saya memilih berbelanja di toko seperti ini adalah buku-buku jualan mereka kadang tidak didapatkan di toko-toko besar. Hal ini juga berarti bahwa pada pemilihan genre, mereka lebih memiliki kemampuan dalam menyiapkan akses bacaan bagi pembaca-pembaca yang seringkali selera atau harapannya tak terpenuhi di toko-toko besar.
Pembaca seperti ini saya sebut sebagai pemilih yang "rewel". Tipe ini memiliki pilihan genre yang tidak biasa bagi sebagian orang. Tema-tema filsafat dan teori sosial adalah kesukaan mereka. Beberapa kawan juga memiliki pandangan serupa. Tak jarang kami juga saling bertukar informasi tentang buku-buku baru yang menghiasi rak toko-toko kecil ini. Bahkan tak jarang -dikarenakan keterbatasan isi kantong- kami berbagi judul yang berbeda untuk dibeli. Selanjutnya kami akan saling meminjamkan untuk menutupi ketidakmampuan kami untuk memiliki setiap judul.
Tidak cukup hanya dengan modal kepercayaan
Ini kasus lain yang menimpa salah satu kios buku (sebutan ini mungkin lebih cocok). Beberapa tahun lalu seorang kawan membuka kios buku dipinggiran kota Makassar. Genre yang disediakannya saat itu mengisi kegemaran saya pada studi budaya dan media. Setiap ada duit lebih saya menyempatkan untuk kekiosnya. Setahun kemudian, ia harus hijrah ke Papua mencoba peruntungan lain. Kios yang dimilikinya dialihkan juga ke seorang kawan.
Lewat manajemen baru kios itu dipindahkan di salah satu kompleks hunian yang terletak di dekat kampus UNHAS. Pemilihan tempat di lokasi yang tidak mencolok mata bukanlah menjadi penyebab kios itu bakalan sepi. Hampir setiap hari ada saja pelanggan yang datang. Apalagi selain menjual buku, diskusi dengan beragam tema juga kerap dilakukan. Cara ini membangun kedekatan emosional antara penjual dan pembeli. Belum lagi kawan saya biasanya memberi servis khusus seperti menyuguhkan teh atau kopi kepada para pelangganya. Rupanya keuntungan ekonomis bukanlah menjadi orientasi, melainkan perluasan pemahaman beragam wacana kritis yang juga menjadi isi sebagian besar rak-rak bukunya.
Masalah kemudian muncul setelah dengan kebaikan maksudnya membuka pintu buat mengutang. Alhasil modal yang seharusnya berputar, kandas di tangan kreditur. Kepercayaan sebagai modal usaha menjadi bumerang yang membuat usahanya gulung tikar. Kali terakhir saya bertemu dan menanyakan kabar kios buku kawan saya ini, ia hanya tersenyum tanpa kemarahan tentang ulah para kreditur macet. Nasib sudah apes, tak perlu ditambah lagi. Sekarang saya mendengar kabar, ia sudah jarang di Makassar mencoba peruntungan di tempat lain.
......................
0 komentar:
Posting Komentar