Didepanku saat ini, air danau Lampulung masih melimpah, meski sudah mulai surut seiring dengan pergantian musim kemarau. Danau ini adalah sejenis danau tappareng (danau yang muncul di musim penghujan). Di atas danau ada empat perahu, para nelayan sedang memancing dan menebar jala, di atasnya 5 bangau putih terbang dalam jalur spiral, tidak ketinggalan sepasang walet saling berkejaran. Di depanku yang jauh, membentang tiang-tiang listrik raksasa. Aku bisa melihatnya sampai 16 tiang, tiang terjauh mengabur di ujung cakrawala.
Memandang danau ini mungkin tiada beda dengan memandang danau buatan yang ada dekat kamar kontrakanmu kecuali aktvitas manusia diatasnya. Perbedaan ini menjadi tak biasa. Di sini danau menjadi salah satu elemen penting yang tak dapat dilepas dalam keseharian hidup masyarakat. Sementara danau yang hampir setiap hari kita saksikan hanyalah semata-mata untuk menampung air disekitar kampus UNHAS.
Dipinggiran danau terdapat 11 ekor sapi sedang merumput, 3 berwarna coklat hampir hitam, 4 berwarna coklat hampir jingga, 3 berwarna coklat muda dan satu berwarna putih krim seperti susu kedelai. Di sekitar sapi-sapi ini dua anak sedang menggembala. Sementara itu burung berkicau ramai, saat seperti ini ikan-ikan berhamburan di dalam danau. Sekali-kali bangau-bangau putih menukik tajam menyambar mereka. Aku juga melihat kumpulan titik-titik asap, para petani sedang mempersiapkan sawah baru. Saat aku menuliskan ini seekor laba-laba hijau hinggap diatas kepala ballpoint-ku. Mungkin ia juga minta untuk diikutkan dalam tulisan ini.
Memandang landscape ini dari tempatku duduk mengigatkanku pada brosur-brosur wisata kabupaten Wajo. Brosur itu masih ku simpan, pernah juga kuperlihatkan padamu. Di dalam brosur itu imaji kawasan ini juga ditampilkan dalam satu gambar. Suatu ketika seorang pegawai pemerintahan menyatakan turis-turis senang dengan pemandangan ini. Mungkin juga ini alasan kenapa kompleks tersebut dibangun ditempat aku duduk sekarang.
Alam di sini memang tenang, jauh dari hingar bingar keramaian. Namun cara kita memandang bisa jadi perlu dipertanyakan juga, para petani yang dianggap eksotik itu tak pernah menganggap diri mereka lain, mereka hanya disibuki dengan berhasil tidaknya panen atau piutang pupuk yang mesti mereka bayar saat panen nanti. Demikian halnya para nelayan itu, mereka hanya mensyukuri jika panen ikan berhasil atau keluhan sesaat jika ternyata hasil di danau tidak seperti yang diharapkan . Sedang burung-burung itu hanya mengikuti naluri mereka untuk hidup. Aku sendiri masih menikmati untuk terus menulis.
Hanya cerita singkat ini yang bisa kutuliskan padamu. Semoga bisa jadi bahan diskusi kelak saat kita bertemu. Sekarang aku ingin sedikit menceritakan ulang beberapa perbincangan tentang landscape kota Makassar. Aku juga turut melibatkanmu, dalam cerita ini.
Seorang kawan pernah berujar di kota susah untuk mendapatkan pemandangan keseharian seperti ini. Kota merampas pemandangan ini -hingga di awal tahun 2000 kita masih mendapati sawah di sekitar jalan Pettarani- sekarang hampir semua kawasan di sulap menjadi bangunan. Iya, pertumbuhan kota tak memberi ruang hidup bagi mereka. Bangunan-bangunan ruko lebih punya arti dibanding sawah-sawah mereka. Kehidupan seperti ini suatu saat mungkin hanya sekedar nostalgia bagi mereka yang merasa masih memiliki tempat untuk pulang kampung.
Kadang kupikir kita terlanjur hidup dengan landscape kota sehingga tak mampu bertahan lama dalam landscape para petani dan nelayan tadi. Kita memperlakukannya hanya sebagai ruang rekreasi sesaat, saat kita jenuh dengan keterasingan kita atas kota. Mereka pun tentunya tak akan tahan berlama-lama dalam landscape kita, tak ada lahan bagi mereka untuk berakrab ria dengan lumpur dan cangkul. Tapi apakah kita betul-betul memiliki kota? Entah, yang kurasakan kota menyediakan akses bagi gaya hidup atau habitus kita.
Suatu ketika engkau berujar bahwa memadang Makassar dari pete-pete sangat menyenangkan rasanya. Aku merasakan hal serupa -mungkin dengan kesenangan yang berbeda- hampir setiap saat denyut kehidupan dan perubahan di kota ini bisa kita rasakan. Betapa banyak yang berubah, mencengangkan, seolah-olah aku tertidur dan bangun dengan kekagetan karena ada hal baru yang aku jumpai. Kita mengalami kesenangan karena menjadi saksi atas perubahan ini. Entah terlibat langsung atau tidak sama sekali didalamnya.
Tapi satu hal pasti, kita terlanjur mencintai kehidupan bersama kawan-kawan dalam keseharian kita dan suatu saat kita akan tersadar mereka akan segera sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Beruntunglah jika kita masih bisa menciptakan ruang-ruang silahturahmi. Suatu saat kita berkumpul kembali dan saling bernostalgia dengan landscape yang bisa jadi terus berubah. Syukur jika hati kita masih tetap menghargai pertemanan. Semoga landscape yang berubah tidak merubah itu.
Pernah engkau tuliskan tentang seorang kawan, tentang kerinduannya untuk melihat padi yang menguning. Saat tak ada lagi ruang pemandangan seperti itu di kota tempat ia hidup. Aku masih memikirkan tulisanmu itu. Suatu saat nanti mungkin kita juga akan tiba pada kerinduannya.
Untuk sementara surat ini kuakhiri di sini. Maaf, gambar-gambar tanganku belum kusertakan di sini. Perlu sedikit waktu untuk mengoreksinya di photoshop. Semoga engkau berbahagia selalu. Cuma itu doa dan harapanku atasmu. Saat ini aku sedang menyelesaikan tulisan tentang welenrenge salah satu episode dalam epik lagaligo. Semoga dalam waktu cepat aku bisa mengirimkannya padamu. Tentunya aku terus mengharapkan kekuatan misteriusmu.
1 komentar:
waelenrenge itu nama sebuah sanggar seni di kota malili, luwu timur. cieeeehhhh
Posting Komentar