Setelah lima jam dalam perut si panther diombang-ambing laju dan jalan bergelombang, sampai juga saya di rumah seorang kawan di Belopa. Niat awal untuk langsung ke rumah luruh dengan ajakannya, meski keputusan saya sendiri juga tidak terlepas dari pemenuhan kerinduan akan aroma laut. Seperti yang sudah-sudah, perjalanan seringkali bermuara pada tempat di luar daftar rencana, saya sendiri sudah membiasakan hidup dalam ketakteraturan ini.
Saya
pernah punya mimpi untuk berumah di tepi laut biar dapat mencium aroma
garam dan menyaksikan perahu-perahu nelayan bersandar di siang hari.
Betapa indahnya ramai warna perahu-perahu berbaris menunggu tuannya
mengembangkan layar atau menyalakan mesin menuju samudra luas,
menantang ombak dan badai. Ternyata bayangan saya tak banyak berbeda
dengan cerita sang kawan tentang lingkungan tempat ia tinggal, kecuali
rimbunan bakau yang berjejer teratur di atas pematang-pematang empang.
Serta warna hijau airnya -mungkin diakibatkan ganggang yang hidup di
muara sungai- tidak biru seperti bayangku. Salah satunya membuatku tak
asing seolah dejavu, ya... perahu-perahu beragam warna berbaris di sepanjang tepi dermaga terletak pas di depan rumah.
Saya merasa beruntung bisa bertemu orang-orang sedang pulang melaut. Menurut kawan saya, mereka adalah para sawi yang bekerja di bagang milik para punggawa.
Tak sabar, kukeluarkan kamera poket dengan fasilitas seadanya -meski
saya tak berharap hasil secara teknis mumpuni- bagiku setiap gambar
memiliki pesonanya masing-masing yang dapat memikat pemandangnya.
Kawan
saya bercerita, bahwa pemukiman disebelahnya yang berhadapan langsung
dengan laut dihuni oleh orang-orang Bajo. Sore nanti ia akan mengajak
saya berjalan-jalan kepemukiman para etnis Bajo. “Kejutan yang menyenangkan,“
pikirku. Selama ini saya hanya mendengar atau membaca tentang mereka
lewat bibir dan tulisan orang-orang. Kali ini saya dapat melihatnya
dengan mata kepala sendiri.
Perjalanan
panjang membuat saya kelelahan. Hingga akhirnya saya takluk juga di
bantal dan kasur nan empuk. Pukul lima sore saya terbangun sedikit
dikagetkan oleh suara sang kawan. ”Wah...sudah setengah lima,“
kataku sedikit cemas. Tanpa menunggu lama, kami akhirnya bergegas,
bersiap melihat dermaga dan tentu saja pemukiman orang Bajo.
Sewaktu
memasuki pemukiman mereka, bayangan saya tentang mereka jauh dari apa
yang saya bayangkan. Seperti kebanyakan tempat baru, saya juga harus
menerima bahwa amat sering apa yang saya bayangkan tak sama persis atau
berbeda sama sekali dengan kenyataan. Rumah mereka saling berhadapan,
dibelah oleh jalan aspal -bukan kayu sebagaimana imajinasi saya- menuju
dermaga. Sebagian besar sudah di cet. Pemukiman mereka tidaklah luas
mungkin dihuni sekitar lima puluh kepala keluarga. Tak banyak orang
Bajo yang terlihat. Kecuali seorang perempuan muda tengah bermain-main
dengan telepon genggam. Saya juga melihat satu rumah terbilang mencolok
dibanding rumah lainnya, menurut kawan saya itu rumah peristrahatan
mantan salah satu pejabat.
Saya
teringat cerita kawan saya siang tadi. Salah satu yang menarik buat
saya adala kisah tentang orang-orang Bajo yang seringkali berurusan
dengan pihak kepolisian. Katanya, mereka kerap ditangkap karena kasus
pengeboman ikan. Saya pribadi menduga bahwa tindakan mereka tersebut
sebagai cara untuk bersaing dengan perkembangan teknologi penangkapan
ikan yang jauh di atas mereka.
Dari
beberapa hal yang saya perhatikan di pemukiman mereka, saya tertarik
dengan antena parabola di salah satu rumah. Penampakannya tak lagi
baru, saya menduga keberadaannya sudah cukup lama mungkin di akhir
tahun sembilan puluhan. Di tahun-tahun itu, benda tersebut ramai
menghiasi halaman-halaman rumah warga di kabupaten Luwu yang berderet
sepanjang jalan menuju Palopo. Menurut kawan saya lagi, di awal tahun
90-an orang-orang Bajo biasa berkumpul dirumahnya untuk menonton serial
Mahabharata yang waktu itu ditayangkan oleh TPI. Saking ramainya bapak
kawan saya menambah lagi satu pesawat televisi. Sekarang setiap rumah
orang Bajo sudah memiliki TV. Bahkan sebelum listrik tersambung ke
rumah-rumah mereka, benda -benda elektronik seperti TV dan lemari
pendingin sudah mereka miliki. Rupanya kepemilikan benda-benda ini
menjadi gengsi tersendiri. Bisa jadi mereka berusaha melawan
pemposisian mengenai mereka sebagai yang tertinggal oleh kemajuan
zaman. Hal ini menurut saya merupakan salah satu alasan lainnya
tindakan pengeboman tadi mereka lakukan.
Perjalanan
kami diteruskan hingga dermaga. Di sisi dermaga berjejer beberapa
bagang yang sedang merapat. Di salah satu bagang nampak seorang lelaki
tua sedang duduk mengaso. Di pelabuhan belum rampung itu, saya juga
melihat dua orang anak lelaki sedang duduk memandang laut. Saya
teringat sewaktu kecil saat berusia seperti mereka. Duduk bersama
imajinasi tentang dunia lain di sebelah lautan luas.
Waktu
berlalu cepat tanpa mau menunggu, matahari mulai ditelan garis horison.
Suatu penanda untuk segera pulang. Tak puas rasanya, masih ingin
berlama-lama dan bersentuhan lebih dekat dengan laut dan orang-orang
Bajo. Namun saya juga harus berkompromi dengan waktu, masalahnya
kendaraan umum ke Palopo -berjarak kurang lebih 50 km dari Belopa-
hanya beroperasi sampai maghrib saja.
Hari
sudah gelap saat mobil yang saya tumpangi memasuki Palopo. Saya masih
memenuhi kepala saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terpuaskan
tentang pengalaman sore tadi. Mungkin saja orang-orang Bajo di dekat
tempat tinggal kawan saya sedang melawan setiap bentuk penguasaan atas
mereka termasuk penilaian-penilaian merendahkan mereka atau
jangan-jangan orang-orang Bajo di sana juga memburu pesona kemajuan dan
pada akhirnya alam harus menjadi korban dari perburuan itu. Bagiku,
mereka juga butuh hidup seperti orang kebanyakan. Memisahkan orang Bajo
dengan laut sama halnya dengan membunuh mereka.
Palopo, 18 September 2009
0 komentar:
Posting Komentar