Sabtu, 26 September 2009

Jakarta yang Menghantui


Entah beberapa waktu telah lewat, saya tak pernah lagi memikirkan tentang beda Jakarta dan tanah tempatku menetap. Hingga siang tadi setelah membaca teks perbincangan di salah satu wall pengguna situs jejaring sosial online facebook 1, ingatan-ingatan tentang itu bangkit kembali. Dalam perbincangan tersebut, mereka dengan loe-gue penuh semangat mencibir orang-orang di mana saya dibesarkan yang terletak di luar kota metroplis itu. Sekaligus membangun kebanggaan bahwa mereka istimewa hanya karena besar di ibu kota negeri tercinta ini.

Seketika perasaan geli menyetrumku hingga ke ulu hati. Lambung saya sontak mual, untunglah tidak sampai memuntahkan isi didalamnya. Kepala saya berputar-putar akan paradoks orang-orang yang mengatas-namakan Jakarta sebagai identitas dengan praktik hidup mereka. Apakah karena ia menjadi tempat bersarangnya mall-mall raksasa dan gedung-gedung tinggi nan angkuh hingga dapat dijadikan alasan untuk menghakimi daerah di luarnya sebagai kampungan, udik dan tak moderen? Seolah-olah hidup diluarnya adalah suatu hal yang membawa aib.

Sebagai tempat yang direkayasa sedemikian rupa bahkan dipaksakan, Jakarta menjadi pusat semua hal mulai dari pembangunan ekonomi, pertumbuhan gedung-gedung bertingkat, industri hiburan, pendidikan, pemerintahan- sebagaimana terbangun di masa kolonial 2 hingga Orde Baru dan mungkin saja hingga hari ini- dan jika kita harus konsisten dengan logika ini, setidaknya manusia-manusia yang tumbuh didalamnya juga menjadi pusat penerang bagi manusia lainnya. 

Ataukah karena ia adalah arena perang bagi orang-orang yang mempertaruhkan keberanian. kenekatan hingga status sosialnya? Tapi tidakkah setiap tempat juga memiliki masalah dan tantangan yang berbeda. Orang-orang di tanah kelahiran saya memilih mengangkat palu, sekop, dan gergaji demi menyekolahkan anak-anak mereka atau sekedar di habiskan di warung-warung tuak, seperti halnya beberapa eksekutif muda di tempat hiburan malam yang menumpahkan lelah dan kejenuhan akan rutinas kerja. Pada titik ini, tiada beda antara orang-orang tersebut baik Jakarta maupun tanah kelahiran saya.

Jika memikirkan hal di atas dan menimbangnya dengan teks-teks di Facebook tadi, saya menyaksikan hal sebaliknya. Orang-orang ini adalah katak dalam tempurung, hidup dalam dunia yang terbatasi oleh angan-angan dan kebanggan semu kemudian berkoar-koar seolah-olah mereka telah melihat seluruh semesta. Saya sama sekali tidak bermaksud membuat generalisasi, kecuali terhadap orang-orang yang mempraktikan hal ini dalam kehidupan sosial di mana kita juga hidup didalamnya.

Apa yang menjadi kebanggaan pada praktiknya hanyalah sebatas logat loe-gue. Saya melihat hal ini sebagai ketakutan melepaskan kuasa terhadap orang-orang di luar mereka. Sehingga, budaya lain tak diberikan panggung untuk menampilkan dirinya. Anda dapat merenungkannya jika menyempatkan diri menyaksikan sinetron kebanyakan dalam kotak sihir di rumah-rumah kita. 

Bagiku gembar-gembor Jakarta sebagai pusat dan standar nilai adalah hantu-hantu hasil peninggalan kolonial. Hingga saat ini saya tidak melihatnya sebagai suatu kemegahan dibandingkan daerah lainnya. Sama halnya di tiap tempat yang saya singgahi, masing-masing hidup dengan dinamikanya. Hanya saja pikiran saya selalu terusik ketika ada pemaksaan cara pandang sarat penipuan. Tuhan Yang Maha Pemurah menciptakan dunia ini demikian indahnya, sepantasnyalah kita kemudian mensyukuri dan membangun kedamaian diatasnya.

catatan
1 Saya sengaja tidak mencantumkan teks-teks perbincangan itu. Meski halaman Facebook bisa diakses oleh setiap orang, saya berusaha agar tidak sampai menampilkannya dengan pertimbangan teks-teks tersebut bisa jadi hal yang sangat privasi bagi kedua user tersebut.
2 Robert Van Neil dalam bukunya “Lahirnya Elit Modern Indonesia” (terj) menjelaskan selain menjadi pusat pemerintahan Batavia juga menjadi pusat pelaksanaan politik etis khususnya pendidikan. Pada titik ini saya memahami bahwa hal ini juga menciptakan landasan yang kokoh bagi perkembangan Jakarta nantinya.

2 komentar:

Yusran Darmawan mengatakan...

coba cek catatan kaki. kalau tak salah, bukan Robert Van Dahl, tetapi Robert Van Neil. thanks

harwan ak mengatakan...

:) trima kasih buat k yus atas koreksinya.

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates