Sudah dua h
ari saya menginap di hotel tetapi perasaan saya selalu merasa tidak nyaman. Barangkali saja karena tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Seringkali, beradaptasi dengan lingkungan baru tidaklah selalu menyenangkan. Terkadang banyak benturan yang mesti dihadapi. Seringkali pula saya dapat melewati hal itu dengan cepat. Tetapi kali ini, setiap berusaha menahan benturannya rasa sedih yang aneh mendatangiku.

Selama di hotel saya selalu mengingat orang-orang yang saya wawancarai kemarin. Beberapa dari mereka hidup dengan penghasilan 250 ribu sebulan. Saya bertanya dalam diri saya sendiri, "bagaimana duit sebesar itu bisa menghidupi mereka?" apalagi dengan tambahan tanggungan anak. Seberapa kuat pertahanan mereka mengencangkan perut? Tentunya duit sebesar itu berarti besar untuk menyambung hidup. Jumlah yang hanya mereka capai setelah bercucuran keringat. Sangat jauh dengan apa yang saya lakoni dua hari ini. Penghasilan mereka sebulan habis hanya dalam beberapa detik untuk sewa kamar sehari.
Saya ingat sebuah jargon, kalau tidak salah kata-katanya seperti ini “work hard but party even harder.” Isinya menyinggung gaya hidup para pekerja kelas menengah yang menghabiskan lima hari mereka dengan kerja keras tetapi dua hari berikutnya pesta mereka lebih keras lagi. Berbeda dengan apa yang saya lakukan, setidaknya mereka masih berani menegaskan diri dengan kata-kata tersebut. Sedangkan saya, bekerja tapi tak menikmati "pesta" ini. Seperti kata seorang kawan beberapa tahun lalu, ”posisi yang paling tidak nyaman adalah saat kau berada pada titik-titik kompromi.“
Saya mengimajinasikan diri saya ibarat berjalan menuju ke kamar hotel dan di depan saya terhampar ruang seperti maze. Beberapa kali saya dibingungkan karena setiap lorong-lorongnya mirip satu sama lain. Saya membayangkan seandainya saja nomor-nomor kamar itu tidak di pajang untuk menunjuk deretan kamar saya menginap, saya akan tersesat dan berputar-putar dalam kebingungan menemukan lorong yang seharusnya saya tuju, terasing dalam kebingungan saya sendiri dan terjebak di antara dua dunia yang tak dapat lagi kubedakan batasnya.
Sambil mengetikkan paragraf akhir ini, Si kotak ajaib masih terus mengoceh, cicak sang penunjuk waktu juga tak mau kalah akan detaknya. Mereka dengan setia mengiringi pengantin malam menuju matahari sang mempelai. Suara-suara dalam diri saya telah demikian sunyi karena kelelahan. Saya rindu tempat tidur yang tidak cukup empuk, tempat yang paling setia menawarkan hangatnya dan menerima tubuh ini. Saya hanya rindu pulang, butuh tangis, butuh sedu sedan.
......kerinduan adalah cara cinta menumbuhkan sayap pada manusia agar ia dapat terbang menjumpai kekasihnya....
0 komentar:
Posting Komentar