Pernahkah anda membayangkan seandainya vampir itu benar-benar hidup di sekitar kita? Apakah anda sama takutnya dengan orang-orang dalam imaji film-film yang menjadi incaran para vampir? Atau bagaimana jika seandainya saja anda sebagai vampir? Bayangan saya anda akan sama sakitnya seperti vampir-vampir dalam film jika tak mendapatkan darah di saat anda lagi sakaw teramat sangat.
Mungkin pertanyaan-pertanyaan saya terlampau mengada-ada akibat terlalu sering menghayati film-film bertema vampir. Hingga tanpa disadari, saya tak lagi mampu membedakan antara yang nyata dan tak nyata atau sebagaimana bahasa para psikiater, saya tengah mengidap skizoprenia. Tetapi ada hal yang akan saya ceritakan kepada anda tentang kisah serupa vampir yang hidup dalam masyarakat Bugis.
Sekitar tiga tahun lalu, seorang kawan berniat menyusun skripsinya mengenai Poppo’ 1. Hingga meraih keserjanaannya niat ini tak kesampaian. Ia tak meneruskannya dikarenakan sang pembimbing tak merestui niat tersebut. Padahal ide ini sangat menarik. Pertama, ide ini di luar dari karya-karya mainstream yang dihasilkan di jurusan kami, kedua tantangan untuk bersentuhan langsung dengan mereka yang di kepala orang-orang yang meyakininya sebagai suatu ancaman.
Kemarin, kami berkunjung kerumahnya yang terletak di kelurahan Pekabattae, Kabupaten Pinrang. Kisah tentang poppo’ ini berlanjut lagi setelah seorang kawan bertanya padanya tentang hal tersebut. Saya sendiri mengenal kata ini sewaktu kecil. Poppo’ kerap diceritakan sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan memakan hati manusia dengan jalan menghisapnya melalui dubur. Biasanya korban mereka adalah anak bayi dan paling sering orang-orang yang dalam keadaan sakit . Ketika berpindah ke Sulawesi Tenggara, saya juga mendengarkan kisah serupa dari seorang kawan yang beretnis Bugis2. Cerita ini dikisahkan di beberapa tempat sebagai horor yang menakutkan 3.
Terdapat cerita populer tentang asal kejadian Poppo’. Menurut kawan saya, seseorang menjadi Poppo’ karena diwariskan oleh orang tua mereka 4. Menurutnya, dalam satu keluarga biasanya terdapat satu anak yang mewarisi hal tersebut. Dalam kesehariannya Poppo’ tak berbeda dengan manusia lainnya, mereka juga berpenampilan seperti yang lain, seperti shalat di masjid dan bergaul bersama. Masyarakat di luar mereka juga tetap menghadiri acara-acara yang diadakan mereka. Begitu pun menyangkut partisipasi politik, mereka juga tidak dipinggirkan 5.
Berdasarkan pernyataan teman saya, Poppo’ tak dapat dikenali secara kasat mata kecuali orang-orang yang memiiki kemampuan atau ilmu tertentu. Dari informasinya, seorang bidan bisa mengenali bayi yang mewarisi darah Poppo’ dengan melihat ciri-ciri tertentu pada saat ia lahir. Kawan saya tak tahu apa yang dilihat oleh bidan tersebut. Katanya itu adalah pengetahuan khusus yang dimiliki sang bidan setelah sekian lama membantu proses kelahiran. Sayangnya, saya tak menyempatkan diri menemui bidan tersebut.
Masyarakat tempat kawan saya tinggal membangun pengetahuan khusus dan strategi untuk menghadapi Poppo’ seperti melemparkan garam pada mereka. Kata kawan saya garam membuat mereka kesakitan dan tak berani untuk masuk ke rumah “menyerang’ calon korban mereka. Bawang merah yang ditaruh di bawah bantal juga diyakini sebagai cara agar Poppo’ tak dapat mendekati calon korbannya. Penggunaan bawang juga kerap kita saksikan pada film-film mengenai vampir baik yang berkembang di barat maupun di daratan Cina.
Seperti halnya para vampir, Poppo’ juga dianggap dapat ditularkan kepada orang-orang di luar mereka. Jika di barat vampir dapat menyebabkan korbannya berubah menjadi vampir dengan satu gigitan, Poppo dapat ditularkan melalui lewat kutu dan ulat. Makanya menurut Abe kecil, para orang tua melarang anak-anak mereka untuk menginap di sembarang tempat. Di samping itu, para orang tua tak mau menikahkan anak-anak mereka dengan orang-orang yang dianggap Poppo’ 6.
Layaknya keluarga vampir dalam film Twilight, para Poppo’ juga membangun negosiasi terhadap masyarakat dimana mereka hidup didalamnya. negosiasi para vampir dalam film tersebut dilakukan dengan mengganti darah manusia dengan darah binatang, sedangkan para Poppo’ mengunci diri di kamar mandi jika naluri Poppo’ mereka muncul. Negosiasi ini sebagai cara untuk berdamai dengan lingkungan di mana mereka tinggal, khususnya pandangan miring orang-orang tentang mereka.
Dari kisah ini, saya mencurigai Poppo’ sebagai strategi kuasa, sebagaimana dibahasakan Foucault, yang bekerja dengan cara mengeksklusi (peminggiran) pihak-pihak tertentu. Kemungkinan Poppo ini sarat dengan muatan politis, apalagi di tahun-tahun tersebut situasi pasca kemerdekaan penuh gejola politik. Kemungkinan lainnya Poppo’ bisa jadi sejenis gejala psikis dan medis, melihat bahwa mereka yang digolongkan sebagai Poppo’ hanya bereaksi pada saat-saat tertentu, dengan perilaku yang tak sadarkan diri, ditambah mereka yang menjadi Poppo” adalah keturunan dari orang tua mereka sangat ditentukan oleh faktor genetis. Sisi kemungkinan lainnya, Poppo’ diciptakan sebagai penguat norma-norma sosial. Alhasil, saya tidak ingin menarik kesimpulan dari data-data yang masih sangat hijau, juga sangat diperlukan studi-studi mendalam termasuk sejarah di tahun-tahun tersebut.
catatan
* Barat memiliki kisah tentang vampir, di tanah bugis sendiri memiliki kisah tentang Poppo’. Seperti halnya vampir, Poppo’ kerap diceritakan sebagai ancaman atau teror.
1 Nama kawan tersebut adalah Abdulrahman. Kami memanggilnya dengan singkatan nama Abe dan menambahkan kata ”kecil“, untuk membedakannya dengan seorang kawan lainnya yang bernama sama dengan badan lebih besar.
2 Menurut Abe, Poppo’ berbeda dengan parakan. Berbeda dengan poppo’, seseorang menjadi parakan ketika salah mempelajari ilmu tertentu, yang seringkali disebutkan sebagai ilmu tarekat. Kesalahan ini kemudian melahirkan ilmu hitam. Selain itu Poppo hanya menyerang orang-orang sakit sedangkan parakan menyerang baik orang sakit maupun orang sehat. Terdapat cerita tentang parakan yang mengatakan ketika ‘beraksi’ ia melepaskan kepala dari tubuhnya kemudian terbang menuju calon korban. Parakan dikenal tidak hanya oleh masyarakat bugis. Sewaktu di Sulawesi Tenggara dulu nama ini juga digunakan.
3 Menurut Abe Kecil, Poppo’ muncul diperkiraan di tahun 40an hingga 50an, awalnya generasi pertama yang menjadi Poppo’ menelan korban dari salah satu warga Hingga sekarang terdapat dua rumpun keluarga yang dianggap sebagai Poppo’.
4 Seorang kawan dari Toraja juga menceritakan kisah serupa, meski dengan nama yang sedikit berbeda yaitu Popok’.
5 Abe menunjukkan hal ini dengan menceritakan seorang yang dianggap poppo’ dipilih sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan program desa. Ia melihat hal ini sebagai bentuk pelibatan mereka dalam ruang-ruang politik.
6 Dari perkataan Abe, terdapat beberapa kasus para orang tua melarang anak-anak mereka melakukaan pernikahan dengan mereka yang dianggap Poppo’. Hal ini dikuatirkan akan menjangkiti pasangan. Orang-orang yang menikah dengan mereka hanyalah orang-orang luar.
0 komentar:
Posting Komentar