![]() |
21 januari 2012 |
Tehku masih tersisa setengah kotak, tak keburu kuhabiskan meski hausku tak pernah surut. Di depanku, meski hanya dipisahkan oleh satu blok bangunan tua, pantai kehilangan suaranya, tertelan oleh kendaraan yang menderu-deru ribut. Aku baru tersadar, setelah tahun-tahun lewat tempat ini akhirnya kusambangi. kembali. Aku demikian lama terasing dalam gua yang kuhuni.
Malam ini seorang kawan berkata kota adalah anak desa yang berkhianat. Aku tak lagi memaksa, tak berusaha menampik kata tak sepakat. Diamku adalah kepatuhan. Tak pernah ku hitung berapa lembar malam habis dalam keliaran bersama kota ini. Waktu menelan dirinya sendiri, aku pun tergilas didalamnya menjadi remah-remah dalam lambungnya yang asam.
Malam ini dan malam-malam lalu telah kutasbih diriku aku bagian dari anak itu. Sementara cahaya yang masih berpendar tak lagi kuperhatikan. Aku telah teralihkan seperti biasa dalam pelupaan, jauh sebelum aku tertidur, sebelum mimpi-mimpi menjerit-jerit tak kenal lelah membawa ketakutan, selalu setia di malam-malam aku berakhir.
Aku masih belum terbangun. Di luar malam telah lewat. Cahaya yang menyelinap dari celah-celah kusen jendela tak membuatku terjaga. Waktu tak juga berhenti mengunyah, meski telah melahap jalan, pantai juga suaranya. Kini dimuntahkannya diriku di atas kasur dimana aku terkulai lemah, bersama panas bercampur dingin, tenggelam separuh oleh keringat yang mengucur deras dari setiap pori-pori.
**************
Aku melayang dalam heran, kupandangi diriku yang meleleh habis, seperti lilin kehabisan sumbu.
(dilahirkan setelah malam-malam berburu imaji di bawah atap klenteng)
0 komentar:
Posting Komentar