Sore tadi tanpa direncanakan, saya menyimak serial kartun SpongeBob SquarePants. Rasanya lama tak menikmati tayangan-tayangan televisi kita, jujur saya jenuh dengan isi-isinya, saking jenuhnya kesukaan saya akan serial ini juga turut menjadi korban. Bolehlah saya disebut orang yang tidak up to date terhadap informasi, tak apa, saya bersedia menanggungnya.
Serial SpongeBob SquarePants sendiri sejak di awal-awal kemunculannya sudah menarik perhatian saya. Dikarenakan isu-isu kritis tentang dunia keseharian yang disajikan secara menggelitik, saya sampai berpikir tontonan ini mungkin lebih cocok dikonsumsi orang dewasa. Lalu suatu ketika, saya berincang-bincang dengan seorang kawan, seorang sarjana kelautan, ia mengatakan serial ini menjadi kampanye yang mengedukasi anak-anak di Amerika untuk mencintai laut, atau dalam bahasa yang rada-rada mirip dengan gaya rezim orde baru dikenal dengan sadar lingkungan.
Mungkin kata kawan saya sangat beralasan dan benar adanya. Beberapa hari kemarin saya juga menyempatkan untuk menyimak tayangan salah satu stasiun TV tentang pembersihan sampah-sampah yang mengotori lautan di pesisir Jakarta. Juga melalui perbincangan dan tulisan seorang kawan, kota Makassar juga tidak jauh beda keadaannya. Orang-orang kota dan sampah sisa konsumsi mereka yang mengalir ke kanal-kanal terus hingga ke laut menjadi....wah, tulisan ini terlalu jauh menyimpang dari apa yang hendak saya tuliskan.
Sayang saya tak sempat membaca judul salah satu episode dari serial SpongeBob sore tadi dan hampir saja keingintahuan ini menjadi gelisah, tapi akhirnya saya pasrahkan saja untuk terus menulis mesti tak mengetahui judul episode tersebut. Hitung-hitung lama juga saya tak menggerakkan pikiran untuk menulis tema-tema seperti ini. Kalau dikatakan dengan jujur, saya hanya sedang digalau rindu, tak lebih dari itu.
Adegan awal dibuka dengan kegirangan Mr. Krabs, si tokoh kepiting pemilik Krusty Krab tempat SpongeBob bekerja sebagai tukang masak Krabby Patty, makanan kegemaran masyarakat Bikini Bottom. Sebagaimana ciri khas karakter ini, kegirangan Mr. Krabs tak lain disebabkan oleh duit, benda ini menjadi napasnya dalam menjalani hidup.
Kegirangan yang terlampau ini menimbulkan tanya di wajah SpongeBob dan kawannya si gurita Squidward. "Aku pensiun," entah jawaban atau sekedar girang Mr. Krabs setelah Krusty Krab yang selalu tak pernah sepi pelanggan akan bekerja sama dengan pemodal besar, pemilik industri makanan siap saji. Lalu setelah penanda tanganan kontrak, Mr. Krabs dengan duit hijau berkoper-koper dan masih dalam jingkrak euphoria-nya melenggang meninggalkan Krusty Krab, SpongeBob dan Squidward. Sementara rasa heran mereka belum habis, dengan cepat pengelola baru masuk, merubah interior hingga sistem yang selama ini menjalankan Krusty Krab.
Hingga suatu ketika sistem yang baru menimbulkan masalah bagi SpongeBob, dulu dengan kedua tangannya ia terbiasa membuat adonan kemudian memanggangnya. Kini semuanya telah berubah, dari pembuatan adonan hingga meja kasir dimana Squidward bertugas telah di-mesinisasi-kan. Hingga akhirnya Mr. Krabs datang, iba pada SpongeBob yang nyaris kehilangan kedirian dan kebahagiaannya selama ini, membuat Kraby Patty dengan kedua tangannya dan melayani para pelanggan dengan kesenangan dan kegembiraan, sekali-kali bercanda atau bernyanyi riang penuh tawa.
Mr. Krabs mengamati keadaan dapur, memandangi mesin-mesin yang bekerja mengganti kerja manusia atas nama efisiensi. Seketika itu juga ia merasa jijik dengan adonan hasil dari mesin-mesin tersebut. "Sampah," teriaknya dengan marah yang tak tertahan, meledak hingga ke telinga para pelanggan yang sedang memasukkan Krabby Patty dalam mulut-mulut mereka. Hanya satu ledakan kata, para pelanggan tersebut dengan penuh kejijikan mengambil langkah seribu.
Lalu, Mr. Krabs mengambil keputusan berani, memutuskan kontrak dan mengembalikan semua duit yang telah diterimanya.Keputusan yang membuat pemilik modal meninggalkan Krusty Krab dengan wajah tertunduk penuh kekalahan.
George Ritzer dan Kehampaan
Beberapa bulan kemarin saya membaca satu buku George Ritzer, seorang sosiolog yang beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti Sosiologi berparadigma Ganda, Teori Sosiologi Modern dan Postmodernisme, McDonaldization of Society dan terakhir The Globalization of Nothing. Buku terakhir inilah yang saya maksudkan dan langsung membawa saya pada isinya ketika membaca SpogeBob SquarePants sore tadi.
Anda mungkin pernah berbelanja di mall-mall atau juga di pasar-pasar tradisional. Banyak hal berbeda yang mungkin anda rasakan, salah satunya mungkin masalah tawar menawar. Jika anda berbelanja bayam di mall anda tak akan dapat menawar, anda hanya harus membaca angka-angka dalam label harga yang dilekatkan pada rak sayur tersebut, sementara pada saat berbelanja di pasar tradisional, tawar-menawar sangat dimungkinkan untuk terjadi. Atau buat teman-teman KOSMIK yang biasa nongkrong di mace Daeng Halifa, teman-teman yang akrab sama beliau mungkin saja diberi bonus khusus, salah satunya dengan mengatakan, "Mace, besokpi nah." Tentu saja anda tak dapat mengatakan hal tersebut jika anda nongkrong di KFC atau pun di Pizza Hut.
George Ritzer dalam karyanya ini, menurut saya adalah karya terbaik beliau, menjadikan pengalaman seperti tadi sebagai contoh-contoh kasus bagi subjek kajian utamanya yaitu kehampaan dalam dunia sosial kita sehari-hari. Sebagai seorang sosiolog kehampaan didefinisikannya dari perspektif sosiologi, sebagai suatu bentuk sosial yang umumnya disusun, dikontrol secara terpusat tanpa isi substantif yang berbeda.
Perbedaan berbelanja di mall dan pasar tradisional adalah contoh untuk memahami definisi Ritzer tentang kehampaan. Salah satunya menyangkut transaksi antara penjual dan pembeli, dalam pasar tradisional transaksi ini termasuk dalam hubungan sosial. Saat berkomunikasi dengan penjual, isi perbincangan kita tidak melulu hanya soal harga barang yang hendak kita beli tapi juga hingga persoalan lain, entah itu harga minyak tanah yang makin tinggi hingga tingkah laku para elit politik yang sering tayang di televisi. Hubungan sosial seperti ini akan sulit anda dapatkan saat berbelanja di mall, paling banter anda hanya dilayani dalam mencari jenis barang tertentu. Mall dimana-mana memiliki sistem yang hampir sama, setiap barang akan dilabeli dengan harga-harga dalam bentuk stiker dengan komunikasi yang sangat kecil untuk meluas pada soal-soal lain, selain pada barang yang akan dibeli .
Atau soal selera yang berbeda menyangkut rasa, saat anda makan di warung Mas Budi, anda bisa mengontrol seberapa banyak garam atau sambal pada nasi goreng yang anda pesan cukup dengan mengatakan, "Mas Bud, garamnya sedikit saja, sambelnya dibanyakin yah." Sementara saat anda bersantap di KFC anda tak memiliki kontrol ini, anda tinggal pesan dan pramusaji akan datang membawakan pesanan anda, tak peduli anda kurang senang dengan makanan yang terlampau asin, pokoknya dimana-mana rasa ayam KFC sama, sudah ada resep yang baku disetiap counter KFC, entah itu di Makassar atau pun di Jakarta.
Kedua contoh di atas digunakan untuk menjelaskan bagaimana sistem transaksi di mall-mall dan soal rasa ayam KFC hampir tidak memiliki perbedaan atau tanpa isi substantif yang berbeda sebagaimana kata Ritzer. Hal-hal tersebut sepenuhnya sudah diatur menjadi rumus baku atau dalam bahasa Ritzer dikontrol secara terpusat.
0 komentar:
Posting Komentar