Rabu, 27 Juli 2011

Membaca Air Mata di Layar Televisi

Pagi tadi, pagi yang menyedihkan, tapi tak cukup membuatku pesimis, kecuali gema makian kecil yang berlama-lama dikepalaku. Begitulah yang ku rasa saat televisi didepanku pasrah saja menerima imaji-imaji yang mengaburkan batas, oh tentu saja saya masih meyakini pentingnya batas pada konteks-konteks tertentu. Seorang lelaki berjubah, dan beberapa perempuan berjilbab yang sedang menangis, wajah-wajah mereka didekatkan, wajah-wajah dengan air mata dan di depan mereka seorang laki berjubah tengah memancing berlagak membimbing agar tangis jangan dihentikan, dan kamera itu masih saja terus bermain memenuhi kesenangan menonton adegan ini.

Beberapa bulan kemarin saya juga menyempatkan diri untuk singgah sebentar di depan kotak itu, saat pagi, saat sinar mentari belum menguapkan titik titik embun yang menempel di jendela kaca hingga membuatnya buram. Lalu dari remote control kupindahkan tayangan dari satu stasiun ke stasiun lain, saya merasa tengah memandang lewat jendela bis yang melaju kencang dan semua yang di kanan juga kiriku berlalu cepat Hingga sang sopir menginjak pedal rem, saya pun menghentikan jari-jariku memencet tombol-tombol berwarna abu-abu gelap dengan angka-angka mulai mengabur, terkikis oleh beribu-ribu gesekan. Pada perhentian ini isak tangis kembali tumpah lewat ceramah pagi yang dengan lihai dikendalikan oleh sang host dan seorang yang dipanggil dengan sebutan Ustadz.

Mengobral Air Mata Lewat Siraman Rohani

Sebagai medium audio visual, televisi membawa kita pada pengalaman menonton yang mendekati pada kenyataan fisik. Tak heran jika medium ini di tengah pesatnya kemunculan media-media baru tetap tak ketinggalan penggemar. Posisinya masih terus bertahan dalam ruang-ruang di rumah kita.  

Tak hanya itu, selama bertahun-tahun, televisi telah membentuk pagi menjadi waktu yang diritualkan melalui dua tema tontonan, pertama ceramah dan kedua berita. Keduanya menjadi sesuatu yang wajib, bukan pagi tanpa hadirnya dua tontonan ini, lalu praktik ini akan menjadi biasa menemani pagi kita selama bertahun-tahun. Dan pagi itu seperti kemarin kusaksikan tema yang pertama, ceramah yang hadir dengan istilah baru, siraman rohani, hanya saja dengan gaya yang sedikit berbeda. 

Kalau dulu -seingat saya sebelum jatuhnya Orde Baru- tayangan ini bersifat monologis, dimana seorang yang disebut ustadz duduk di kursi seorang diri dan membawakan tema ceramah mereka hingga usai dan tanpa melibatkan yang lain. Kini tayangan ini dibuat interaktif dimana sang pembawa ceramah dengan sebutan yang tetap sama, ditemani host dan mereka yang disebut sebagai jamaah hingga terlihat seolah-olah dialogis

Khusus bagi tayangan siraman rohani hari ini terdapat satu praktik baru dengan memasukkan dimensi drama. Salah satu kasus adegan ceramah dibawakan di salah satu daerah di kalimantan. Hampir di sepanjang acara terjadi dialog antara sang ustadz dan para jama'ah. Sang ustadz ibarat dokter yang tengah mengobati jamaah yang juga nampak seperti pasien. Ia akan bertanya dan terus menggali tentang gejala sakit para pasien. Tugas sang ustadz adalah memancing agar para jamaah mengeluarkan air mata. Sang Ustadz dengan kelihaiannya mengajak mereka untuk memuntahkan aib-aib mereka kemudian menyesali dan diteruskan dengan mata yang berkaca-kaca dengan sound isak tangis. 

Air Mata, Aib dan Kelas Sosial

Aib adalah penanda kelas sosial, demikian yang saya pahami saat membaca tayangan siraman rohani pagi tadi. Kebanyakan dari para jama'ah yang menyedihkan ini, berasal dari kelas sosial dan ekonomi di bawah kelas menengah. Keluhan atau aib mereka menyangkut soal bagaimana nasib tak berpihak pada mereka. Suatu bagian paling rentan dan terlemah untuk menyudutkan manusia pada jurang ketidakberdayaan, bagian yang dengan mudah membuat air mata berurai.   

Air mata kemudian menjadi fenomena umum hampir di semua genre tayangan mulai dari sinetron, gosip, reality show, news hingga siraman rohani. Subjek sekaligus menjadi objek jualan di layar-layar kaca. Air mata adalah indeks dalam semiotika Pierce bagi kesedihan, dan kesedihan adalah drama nan abadi bagi makluk yang bernama manusia. Air mata juga sekaligus penanda kelas sosial, mereka yang berlimpah materi punya alasan tersendiri untuk menangis dan mereka yang berpenghasilan untuk makan saja dalam sehari sulitnya minta ampun juga punya alasan tersendiri. Jika dalam acara gosip selebritis air mata tumpah karena sang pasangan selingkuh atau cerai, maka dalam sebagian acara reality show kemiskinan menjadi alasan. 

Lantas bagaimana dengan kita? saat kapan air mata kita tumpahkan? gaya tayangan televisi apa yang kita ikuti? Selebritis-kah atau mereka yang miskin? Saya sendiri berharap semoga tangisan selalu eksistensial bukan seperti tangisan saya yang selalu terlampau palsu.

2 komentar:

Arsal Amiruddin mengatakan...

mantap ustadz

harwan ak mengatakan...

punna katte'mi kanai, nakke asyik-asyik saja...

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates