Selasa, 05 April 2011

Pikiranku Kembali Menjadi Korban (lanjutan)

Pete-pete adalah miniatur kota ini, merepresentasikan sebagian dari kehidupan penghuni-penghuninya. Berpacu di jalan-jalan, berebut atau menipu penumpang, kadang melabrak aturan, klakson-klakson yang menyalak garang di lampu merah, seperti kota ini, tak mau tertinggal. Tapi ditengah kebisuannya, pete-pete juga menjadi salah satu tempat paling nyaman untuk menenangkan diri,  tempat rekreasi paling murah yang memanjakan mata dan pikiran. Ruang paling nyaman untuk menjadi saksi atas irama kota ini. Ruang terasing dan mengasingkan diri. Dari pete-pete kota ibarat galeri, ruang pameran bagi beragam kelas sosial, tumpang tindih, seperti coretan-coretan, warna berbaur, berkomunikasi dalam bisunya, garis-garis yang juga bisu silang menyilang. Kota adalah sepi sekaligus penuh hingar bingar. 

Selain pete-pete, tempat menyepi paling sunyi juga saya temui di salah satu kawasan perumahan elit di kota ini. Sewaktu di sekolah menengah atas, sebelum ditimbuni tanah dan menjadi rumah-rumah besar dan megah seperti yang terlihat dalam sinetron-sinetron, kawasan ini dulu berupa rawa dan lahan menanam sayuran oleh para warga. Beberapa tahun lalu pengembang perumahan membeli tanah-tanah ini dengan harga  lima puluh ribu permeter, sekarang tanah-tanah tersebut bernilai satu setengah juta per meter. Lalu pagar-pagar tinggi dari tembok maupun jeruji berdiri cantik menawan sekaligus kokoh layaknya penjara, habitat bagi orang-orang untuk mengasingkan diri.

Di pagi hari kompleks ini orang-orang jarang terlihat, pagar tersebut membentenginya, terbuka saat sore, saat mobil-mobil memasuki garasinya, tidak lama, hanya sebentar dan pagar itu kembali mengunci dirinya.  Lelah bekerja, lelah bercengkrama, rumah menjadi pelarian lalu pagar dan kamar terkunci rapat-rapat, berlapis-lapis. Mirip mobil-mobilan kanak-kanak yang dimasukkan kembali ke dalam kotak saat si bocah bosan memainkannya. Di sini orang-orang lebih akrab dengan kejauhan dibanding tetangga yang mungkin tak pernah dikenalinya. Mobil dan telpon genggam memudahkan itu terjadi.

Pagi tadi, seorang kawan bercerita tentang tetangga-tetangga sekompleks yang tak lagi dikenalnya,  tentang semakin banyaknya rumah yang berdiri "terlalu ramaimi, ndak dikenal semuami." Setiap orang-orang yang lewat menjadi objek kecurigaan "beberapa bulan lalu, sepeda motor tetangga sebelah dicuri."

Kota mungkin terlalu menakutkan, mengkhawatirkan bagi sebagian penghuninya, sekaligus ruang dengan  fasilitas untuk memanjakan hasrat konsumsi setelah tubuh dan pikiran dipacu dalam ketegangan, kesibukan jadwal-jadwal yang padat, rapat-rapat bisnis, kalkulasi keuntungan dan angka-angka. 

Ini hanyalah satu sisi dari kota, di tempat lain bahkan mungkin dalam dalam rumah-rumah megah tadi kedamaian masih ditemukan. Atau setidaknya harapan akan kedamaian tetap tersimpan dalam bisunya. Saya mencoba untuk meyakini itu.

1 komentar:

Almin Jawad Moerteza mengatakan...

saya suka sekali ini tuisan, ada garis-garis tebal kearifan bagi mereka yang haus kebijaksanaan.

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates