Kamis, 07 April 2011

Kereta Api Melaju di Kepala Mereka

Coba anda ingat lagu-lagu yang pernah anda dengar atau nyanyikan dulu saat masih di taman kanak-kanak atau di sekolah dasar. Atau pernahkah anda mendengar dari sebuah lagu tentang tempat yang anda belum pernah kunjungi atau saksikan gambarnya secara langsung. Bagaimana anda membayangkan tempat itu?

Pagi itu, sekitar pukul 7, saya duduk di beranda rumah Pak Hacing, ia adalah kepala desa Bulo-bulo yang masuk dalam kawasan kecamatan Pujananting kabupaten Barru. Saat itu udara masih dingin, bagi kulitku yang terbiasa hidup di tempat yang disebut kota. 

Desa ini terletak di salah satu barisan pegunungan di antara jejeran pegunungan yang berlapis-lapis. Dalam sehari angkutan beroperasi sekali pada pagi hari, tidak setiap hari, tergantung jumlah penumpang dan kondisi jalan, dan kembali lagi pada siang atau sore hari, juga tergantung jumlah penumpang. Jika penumpang hanya berjumlah dua orang, sang sopir tidak akan berangkat, tak cukup menutupi biaya bensin yang ia keluarkan. Begitu kata Hari, seorang anak muda yang bekerja sebagai sopir.    

Setiap pagi di antara pukul 6 dan pukul setengah 7, Hari bersama deru mobilnya akan lewat di  satu-satunya jalan menuju Pangkep yang juga melintas di depan rumah Pak Hacing. Dan di pagi itu, ia baru saja lewat ketika aku duduk di kursi plastik hijau, di beranda rumah Pak Hacing.

Saya meninggalkan secangkir kopi hitam di ruang tamu, belum setengahnya ku minum. Di jalan orang-orang mulai berlalu lalang, sebagian ke sawah -kebanyakan lelaki paruh baya, sebagian menggembala sapi - kebanyakan dilakukan oleh perempuan yang juga paruh baya  dan sebagian anak-anak -perempuan dan laki- berbusana putih merah dan putih biru  menuju sekolah.

Tentang aktivitas orang dewasa yang kebanyakan dilakukan mereka yang lanjut usia menjadi tanda tanya saya ketika mengamati situasi pagi di desa ini. Tapi hal ini tak akan saya bahas lebih jauh, belum saatnya, sementara saya akan mencatatnya dalam daftar antrian berikutnya.

Di depan rumah, terdapat satu rumah panggung, dibuat sebagai rumah seorang bidan yang mengabdikan dirinya pada masyarakat. Selain sebagai rumah tinggal, bagian bawah yang awalnya hanyalah kolong juga dibuat menjadi ruangan bersekat dan digunakan sebagai taman kanak-kanak. Letak rumah ini lebih tinggi dari tempat saya duduk, sehingga untuk melihat aktivitas orang-orang di sana, saya harus sedikit mendongakkan kepala.

Tak lama kemudian mertua perempuan pak Hacing mengantarkan cucunya yang juga perempuan ke taman-taman kanak tersebut. Tentu saja seperti biasa akan berbicara sebentar padaku dan berlalu,  tertawa kecil dan menutup pintu penghalang anjing yang terpasang di beranda. Ia menggantikan tugas anak perempuannya -isteri pak Hacing- yang bersama suaminya tak pulang semalam. "Ada urusan di kota Barru", kata mertua lelaki pak Hacing, semalam ketika aku datang. "Mereka menginap di sana dan hari ini  balik", entah siang atau sore ia tak tahu pasti.

Anak itu dipanggil dengan nama Nisa, ia anak bungsu Pak Hacing dan memiliki seorang kakak perempuan yang bersekolah di sekolah dasar, kelas enam. Bersama anak-anak lainnya ,dengan riang gembira, mereka akan menghafal angka, menyebut abjad latin dan bernyanyi. Pada aktifitas yang terakhir ini saya berjumpa dengan teks-teks menggairahkan sekaligus terbawa arus pada momen mengingat saat-saat yang jauh. Saat sedikit diatas usia anak-anak ini.

Hal ini dimulai ketika saya mendengar lirik lagu yang dinyanyikan anak-anak ini dan tentunya di pandu oleh salah seorang pendidik. Saya tak lagi mengingat penuh lirik lagu tersebut, saya hanya mengingat di bagian awal.

Naik kereta api...tut,tut,tut...siapa hendak turut...ke bandung-surabaya...

Teks ini membangunkan ingatan saya. Anak-anak ini yang sejak lahir tinggal dan besar dipegunungan ini, tak pernah sama sekali bertemu dengan kereta api, menginjakkan kaki di Bandung maupun Surabaya kemudian dalam kepala dibenamkan begitu saja, layaknya dongeng, seringkali tanpa rujukan eksternal, dunia yang tak pernah mereka hidupi atau kenal sebelumnya.


                                                    *******

Kereta api sebagaimana ujar Benedict Anderson (lihat karyanya Imagined Community yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judul Masyarakat Terbayang) menjadi salah satu penggerak berkembangnya imajinasi kebangsaan dalam benak orang-orang yang secara geografis dan fisik terpisah dan tak pernah bertemu atau bertatap muka. Anonim satu sama lain, yang mengikat adalah perasaan akan satu bangsa. Lanjut ,kata Anderson, lahirnya bahasa tunggal juga menjadi landasan pembentukan masayarakat terbayang. Dalam kasus ini masyarakat Bulo-bulo sebagai penutur bahasa Bentong disatukan dengan masyarakat diluarnya dengan penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa kemudian menjadi alat untuk mengenali yang lain sekaligus dikenali oleh yang lain. Lebih jauh bahasa menjadi ruang penyebaran ide tentang kesatuan bagi -meminjam kata Lacan- the other

Dalam perspektif Lacan (lihat Lacan dalam karyanya Ecrits) bahasa menjadi media identifikasi the other terhadap dirinya, subjek yang memandang  dan mengenali dirinya dicermin bahwa ia berbeda dengan yang lain. Lantas bagaimana subjek membayangkan tempat atau benda yang tak memiliki rujukan eksternal? Bagaimana subjek (the other) mengidentifikasi dirinya terhadap subjek lainnya yang tak pernah ia saksikan secara langsung? Pertanyaan-pertanyaan bisa terus dikembangbiakkan hingga menyoal tema-tema yang terkait dengan masa lalu maupun hari ini. Dan disinilah letak pentingnya mengurai permasalahna ini  -dalam subjektifitas saya- yang masih terus menghantui keseharian kita.

(saya ingin melanjutkan tetapi  kelopak mata tak lagi mampu menahan berat)

Paragraf  lanjutan....
 Berhadapan dengan masalah diatas saya akan bercerita tentang pengalaman masa lalu yang jauh tersimpan dan tetap aman dalam ingatan saya. Pengalaman ketika orde baru masih mengakar kuat termasuk hingga hari ini dalam ingatan saya. Saya memilih keping ini sebagai kasus dengan alasan bahwa pada konteks waktu tersebut, saya dilahirkan, dibesarkan, tumbuh dan dididik dan awal mula dibentuk untuk menjadi warga negara yang baik




3 komentar:

Mata Air mengatakan...

Imajinasi menari-nari tanpa irama, berbait tanpa lirik..ampuh menerjang relung gaibku..perfecto my old brother..miss u.

Mata Air mengatakan...

Salam..sama ema.

harwan ak mengatakan...

iya, sudahmi saya sampaikan salamta ke Ema Salam balik.

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates