Minggu, 03 April 2011

Ingatan yang Tak Pernah Kau Ceritakan


Agustus sudah masuk setengah, udara dingin musim kemarau menerjang hingga didagingku yang tebalnya tidak seberapa. Lelaki paruh baya bertubuh kecil tepat dihadapanku, dagingnya sedikit lebih banyak dariku. "Makanki nak, hari ini masih panjang," ia berkata saat aku menghampiri meja kayu berlapis seng. Ia berdiri dari bangku plastik merah juga dilapisi bangku plastik lainnya, hanya warnanya yang berbeda, hijau. 

Aku mengambil roti dan segelas kopi instant yang baru saja ia aduk. Sejak saat itu -di awal masa orientasi mahasiswa baru- aku merasakan tempat aman pertama,  hingga bertahun-tahun kemudian.

Pace adalah sapaan yang biasa kami alamatkan kepadanya, sebagian memanggilnya Daeng Yajji, termasuk pedagang-pedagang lainnya yang berjualan di dalam kampus. Lama sebelum kampus UNHAS tamalanrea berdiri, mereka adalah pemilik lahan. Dulu tanah tempat baruga dan terminal angkutan kampus berdiri adalah milik Pace, warisan dari orangtuanya.  Sebelum seorang pejabat kelurahan membawa dan tak mengembalikan surat-surat tanah mereka. Begitulah kata istrinya, ketika tahun lalu aku bertamu dirumah mereka, hari itu idhul adha, kampus sepi, warung makan juga sepi.

Sejak mengetahuinya tak pernah berani kutanyakan mengapa ia memilih pelataran baruga sebagai tempat ia berjualan. Aku tak mau memancing ingatannya secara langsung.

Seringkali jika kami kehabisan duit, mengutang di warung Pace adalah solusi praktis. Tinggal bilang pada istrinya, "Ma' utangka dulu", semua akan beres. Tanpa bunga sama sekali. Selain berjualan, di malam hari Pace akan berjaga di sekitar baruga dan fakultas sospol. Baruga telah menjadi pusat geraknya dalam dunia kesehariannya.

  
                                                     *****

Suatu ketika, hari hujan, ia berdiri mematung di antara warung-warung kosong, memandang entah hujan, entah rumput hijau di belakang mushallah. Aku rasakan kesunyiannya menjalar padaku, sejak sakitnya, lelaki yang jarang berbicara itu hampir bisu. Aku ingat pernah ia mengeluh padaku tentang sakitnya, dan aku tak bisa berbuat banyak, hanya senyum yang berat, senyum yang tak mau menyinggungnya. Hujan masih membawa dingin yang menyebar di kulit-kulit, terjadi beberapa bulan sebelum ia bersimbah darah dipangkuan istrinya. 

Pagi itu, pukul 9 lewat, isterinya menjerit bersama tangis. Ia tuli, tak juga membuka mata, bisu di tangan kematian yang merenggutnya saat hampir subuh. Sendiri, tanpa orang-orang, hanya hujan. Sore itu,  ia bercakap dalam lakunya yang mematung sepertinya  hujan telah berjanji padanya untuk menunggunya, pagi itu dingin juga memeluk kulit-kulit, aku terbaring di atas kasur merah, di kamar yang tak jauh dari tanah yang bukan lagi miliknya. Tanah yang hanya dimilikinya dalam ingatan.    

                                                      *****

Beberapa tahun yang lalu, Pace dan pedagang-pedagang lainnya dipindahkan, mereka memang tak bisa  membuat posisi tawar, mahasiswa yang dulu hidup bersama telah disingkirkan oleh waktu.  Pace harus merelakan posisinya di baruga,  isi kantongnya memang hanya tergantung dengan berjualan di kampus. Mereka yang tersebar dikumpulkan dalam satu titik, sebagian menamainya Pohon Socrates . Dulu beberapa   teman menjadikan tempat ini sebagai ruang membahas warisan Bapak Filsuf itu  dan karena letaknya di bawah pohon mangga raksasa, nama itu akhirnya dipilih. 

Sebagian lainnya menamainya Pasar,  kedengarannya lebih merakyat dan selain tempat berbelanja juga tempat bertukar beragam perbincangan, mulai dari sepak bola, gosip, maupun gagasan. Nama ini lebih membumi  hingga sekarang dan perlahan-lahan Pohon Socrates akhirnya mati tak lagi terdengar gaungnya. Seolah-olah menjadi metafora bahwa warisan Bapak Filsuf di kampus-kampus telah sepi penggemar.

Ruang berubah, dan ingatan kita bisa jadi terus bertambah atau bisa pula kita tak pernah mengingat  atau tak mendengar kisahnya sama sekali. Aku menuliskan catatan singkat ini agar ingatan tentang kampus selalu terjaga dari lupa. Pace hanyalah salah satu dari mereka. Dulu di depan sekretariat KOSMIK juga hidup seorang nenek, kami menyebutnya dengan nene' tanpa huruf K di akhir kata. Seringkali tanpa diminta, ia akan bercerita tentang tanahnya yang tak pernah ia relakan. Sampai sekarang saya biasa memikirkan bagaimana jika di ujung hidup mereka tak juga merelakan tanah-tanah mereka. 

Apakah kutukan bisa lahir dari arwah-arwah ini?

                                                *****

Catatan ini menuju titik terakhir, botol dan gelas plastik air mineral kemasan berada disampingku. Melihat benda-benda ini, aku selalu teringat Pace. Sebelum sakitnya, ia selalu mengumpulkan sampah-sampah ini, bergerilya di malam hari ketika ia berjaga dan meletakkannya di bawah pohon mangga. Setelah terkumpul dalam beberapa karung, ia kemudian menjualnya. Melihat sampah-sampah ini disampingku, ada sunyi,  sepertinya kemarin Pace masih tersenyum kepadaku.

4 komentar:

Meike Lusye Karolus mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Meike Lusye Karolus mengatakan...

terakhir kali Pace-lah yang membuatkan saya susu coklat pada suatu sore di hari Sabtu yang sepi....


Ternyata tanah di atas Unhas berdiri adalah hasil relaan dipaksakan ya kak?

harwan ak mengatakan...

saya hanya menyampaikan apa yang pernah saya dengar, meike yang menyimpulkan. Tp kalo mau informasi jelasnya, coba jalan2 ke kera-kera dan belakang ramsis UNHAS, sebagian informan mungkin masih bisa ditemui.

Meike Lusye Karolus mengatakan...

padahal kemarin saya hampir ke kera-kera sama cubo....dan sekarang kak harwan menyarankan kesana....sesuatu tak kasat mata sedang mengatur ;D

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates