Saya sudah terbiasa dengan banjir yang
selalu datang di tiap musim hujan. Sekitar tiga tahun sudah dan itu
cukup untuk membuat saya akrab dengan lingkungan tempat tinggal saya.
Namun saya selalu kuatir sejak pihak UNHAS membuat danau yang letaknya
beberapa puluh meter di belakang kamar kost saya. Jangan-jangan
dindingnya jebol diterobos air hujan. Apalagi hari ini, hujan mengguyur
demikian deras.
Sebelumnya
seorang ibu -pemilik warung makan- pernah menyoal salah satu bagian
dinding yang konstruksinya hanya berpegangan pada tanah. Tidak dibeton
seperti bagian dinding lainnya. Suatu waktu, saat minggu pertama hujan,
air mulai membuat celah pada dinding danau. Apa yang dikuatirkan ibu
tersebut sangat beralasan. Ini baru awal musim penghujan dan air di
danau tersebut sudah mulai menyentuh bibir dindingnya. Saya juga telah
melihat bagian itu, selalu malah, karena seringkali untuk keluar dari
pondokan saya memilih mintas lewat dinding itu. Esok harinya, para
pekerja memperbaiki dinding dengan menambah timbunan tanah diatasnya.
Meski bagi saya itu tidaklah cukup.
Ucapan
ibu tadi seperti air yang tak sanggup lagi ditampung oleh danau. Selama
ini pihak UNHAS tidak melibatkan seluruh warga soal rencana pembuatan
danau tersebut. Padahal, posisi warga soal kebijakan tersebut sangat
sentral. Alasannya sederhana, keberadaan danau itu bisa mengancam
pemukiman warga. Meski banjir adalah tamu tahunan, bukan lagi hal baru.
Namun masalahnya akan lain jika air yang jumlahnya sekian ribu kubik
tiba-tiba datang hanya karena kesalahan yang seharusnya sudah masuk
dalam kalkulasi resiko. Apalagi danau itu juga menampung pembuangan air
hujan dari rumah sakit Dr. Wahidin.
Saya
pernah mendapat informasi dari salah satu warga, bahwa aliran
pembuangan air yang ada di UNHAS hanya melalui satu saluran dan itu
melewati pemukiman warga. Sekarang, saluran itu bermuara pada danau
buatan tersebut, membendung air hujan buangan dari UNHAS yang selama
ini melewati pemukiman warga. Pembangunan danau itu punya maksud baik
tetapi sayang tak “diseriusi.”
Selain
kekuatiran akan dinding danau itu, keberadaan saluran pembuangan -got
besar- juga menutup beberapa jalan masuk kepemukiman warga. Sehingga
akses mereka dengan dunia luar terhalang. Warga kemudian membangun
sendiri jembatan kecil yang melintasi got itu.
Inilah
salah satu fenomena mengenai buramnya potret pembangunan di negeri ini.
Seperti halnya jalan-jalan beraspal yang dikerjakan di luar dari standar
seharusnya. Lebih menyedihkan lagi danau tersebut dibangun atas nama
UNHAS, tempat orang-orang dengan puncak-puncak pengetahuan dan
kebijaksanaan.
Hujan masih keras mengguyur. Saya mengetik pesan singkat kepada Ema tentang danau itu, “Moga-moga tidak, kasihan orang-orang.” Dalam hati saya juga membathin, "moga-moga ini hanya paranoid."
0 komentar:
Posting Komentar