Berdasarkan cerita beberapa warga, saya mendapat informasi mengenai keluarga kaya yang kemudian jatuh miskin. Rumahnya terletak sekitar 300 meter dari kantor kelurahan. Akhirnya dengan ditemani seorang ibu yang bekerja di kantor kelurahan Manjangloe saya menuju rumah keluarga tersebut.
Sewaktu kami memasuki pekarangannya, perempuan tua itu sedang terbaring di beranda rumah panggungnya. Saat kami mengucapkan salam, ia bangkit dengan segera dan mengikat rambut panjangnya yang terurai. Kami lalu dipersilahkkan masuk kerumahnya. Penampilannya seperti ibu-ibu kebanyakan dengan baju daster biru bermotif kembang membungkus tubuh kurusnya.
Setelah memperkenalkan diri dan maksud kedatangan saya kami mulai bercakap-cakap. Sedikit demi sedikit wajahnya yang berkerut penuh tanya mulai mengendur. Sekilas saya memperhatikan gambar-gambar yang terpajang di ruang tamunya. Tampak fotonya bersama seorang anak. Hari ini keadaannya sangat berbeda, tulang lengan dan kakinya terlihat jelas dibalik kulitnya.
Tanpa saya sadari percakapan antara kami mulai mengalir. Ia mulai mengisahkan kehidupannya beberapa tahun lalu sewaktu usaha penjualan pakaiannya berjalan lancar. “Kami memiliki satu kios di pasar, di kota Jeneponto, satu pete-pete (angkot), dan tiga motor.” Keuntungan dari usahanya tersebut juga tidaklah sedikit, “dulu, kalau hari-hari biasa kami bisa mendapat keuntungan minimal 50 ribu rupiah, jika di musim pesta pernikahan dan menjelang idul fitri keuntungan bisa mencapai 300 hingga 500 ribu dalam sehari.”
Awal kejatuhannya di mulai pada tahun 2005. Saat itu, ia harus menikahkan tiga orang putranya dalam waktu yang berdekatan dengan biaya yang tidak sedikit. Suaminya yang sakit, semakin memperlemah keadaan keuangan keluarga. Berulang kali ia harus bolak-balik ke rumah sakit dengan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Hal ini mereka hadapi sendiri tanpa bantuan keluarga dan orang lain,“kami tidak meminta bantuan kepada keluarga, kami merasa malu sebagai orang yang selama ini berpenghasilan lebih dari cukup.” Ia lebih memilih meminjam uang kepada orang lain dengan bunga 20 persen pertahun.
Saat sang suami meninggal modal usahanya juga habis tak tersisa, bahkan utang-utangnya menumpuk. Akhirnya ia harus menjual kios dan kendaraan miliknya. Hingga sekarang utang-utang tersebut belum juga lunas. Untuk biaya hidup sehari-hari, ia hanya berharap bantuan dari anak-anaknya yang juga tak memiliki penghasilan memadai. Hanya rumah panggung kayu sisa-sisa harta yang dipunyainya, itu pun sertifikat tanah tempatnya berdiri sudah dijadikan jaminan kepada bank. Kini, layaknya warga miskin lainnya ia didaftarkan agar dapat menerima program-program bantuan seperti RASKIN dan BLT. Sampai saat ini ia masih sulit untuk mempercayai apa yang menimpanya.
Sewaktu kami memasuki pekarangannya, perempuan tua itu sedang terbaring di beranda rumah panggungnya. Saat kami mengucapkan salam, ia bangkit dengan segera dan mengikat rambut panjangnya yang terurai. Kami lalu dipersilahkkan masuk kerumahnya. Penampilannya seperti ibu-ibu kebanyakan dengan baju daster biru bermotif kembang membungkus tubuh kurusnya.
Setelah memperkenalkan diri dan maksud kedatangan saya kami mulai bercakap-cakap. Sedikit demi sedikit wajahnya yang berkerut penuh tanya mulai mengendur. Sekilas saya memperhatikan gambar-gambar yang terpajang di ruang tamunya. Tampak fotonya bersama seorang anak. Hari ini keadaannya sangat berbeda, tulang lengan dan kakinya terlihat jelas dibalik kulitnya.
Tanpa saya sadari percakapan antara kami mulai mengalir. Ia mulai mengisahkan kehidupannya beberapa tahun lalu sewaktu usaha penjualan pakaiannya berjalan lancar. “Kami memiliki satu kios di pasar, di kota Jeneponto, satu pete-pete (angkot), dan tiga motor.” Keuntungan dari usahanya tersebut juga tidaklah sedikit, “dulu, kalau hari-hari biasa kami bisa mendapat keuntungan minimal 50 ribu rupiah, jika di musim pesta pernikahan dan menjelang idul fitri keuntungan bisa mencapai 300 hingga 500 ribu dalam sehari.”
Awal kejatuhannya di mulai pada tahun 2005. Saat itu, ia harus menikahkan tiga orang putranya dalam waktu yang berdekatan dengan biaya yang tidak sedikit. Suaminya yang sakit, semakin memperlemah keadaan keuangan keluarga. Berulang kali ia harus bolak-balik ke rumah sakit dengan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Hal ini mereka hadapi sendiri tanpa bantuan keluarga dan orang lain,“kami tidak meminta bantuan kepada keluarga, kami merasa malu sebagai orang yang selama ini berpenghasilan lebih dari cukup.” Ia lebih memilih meminjam uang kepada orang lain dengan bunga 20 persen pertahun.
Saat sang suami meninggal modal usahanya juga habis tak tersisa, bahkan utang-utangnya menumpuk. Akhirnya ia harus menjual kios dan kendaraan miliknya. Hingga sekarang utang-utang tersebut belum juga lunas. Untuk biaya hidup sehari-hari, ia hanya berharap bantuan dari anak-anaknya yang juga tak memiliki penghasilan memadai. Hanya rumah panggung kayu sisa-sisa harta yang dipunyainya, itu pun sertifikat tanah tempatnya berdiri sudah dijadikan jaminan kepada bank. Kini, layaknya warga miskin lainnya ia didaftarkan agar dapat menerima program-program bantuan seperti RASKIN dan BLT. Sampai saat ini ia masih sulit untuk mempercayai apa yang menimpanya.
0 komentar:
Posting Komentar