Ini kampung sejak bertahun-tahun dulu sudah pandai ber-politik, meski kadang terkhianati. Diberi nama sama dengan pasukan penjajah yang telah lama hengkang. Berkilo-kilo dari tempat aku sedang mengetik masih ada sisa-sisa kuburan beberapa dari mereka, tak terurus serius.
Tahun depan bakalan digelar lagi hajatan besar, duit yang dikeluarkan tak sedikit. Bahkan beberapa bulan sebelum itu pesta, sebagian orang-orang kampung sudah mulai kecipratan. Kali ini aku duduk manis mendengar ceramah, siraman realitas. "Politik itu pasti butuh duit makanya pilih kantong yang tebal." Aku masih mendengarkan sementara beberapa teguk kopi hitam lolos melewati tenggorakanku.
Demikian surat singkat ini tentang kampung tempat aku sedang memandangi layar-layar tak berperahu. Aku tak sabar ingin menemuimu.
NB:
Aku telah menantang optimisme mereka ketika kukatakan tentang seorang tuan berkantong tebal yang rakusnya menenggelamkan orang-orang. Aku tahu mereka goyah, ber-politik itu juga soal harapan yang terus diimajinasikan.
2 komentar:
saya membaca semua tulisan-tulisan kamu yang belum sempat saya baca.. dan seperti biasa semuanya selalu keren... oh iya dari berhari-hari- dan berhari lalu, saya sangat ingin bertamu... tamu yang bisanya hanya datang mencari dan mengolah refleksi2mu.. sebab saya yakin harapan saya selalu terakomodir dalam sudut pandangmu... bukan obrolan serupa angin lalu yang semakin hari memenuhi waktu2 didepan saya.. saya rindu kedalaman yang semakin sulit saya buat... suatu saat dan semoga tak akan lama, saya menemuimu dan mengajak ngobrol meskipun tak diundang...
salam bagi kita semua... eeduyhaw...
Maaf baru sempat membalas setelah sekian lama. Sejak tulisan ini, saya diombang-ambing keraguan untuk meninggalkan blog ini. Belakangan, saya baru bisa berdamai dengan kebimbangan. Hasilnya, blog ini akan terus menjadi rumah. Iya, terima kasih banyak atas sanjungannya. Saya tak tahu harus membalas apa, takut kata-kata menikam balik. Seperti halnya engkau, saya juga selalu merindukan pertemuan. Bersepakat denganmu, rasanya semakin susah menemukan orang-orang yang memilki "desire" terhadap keacuhan kita.Pada akhirnya kita harus menurunkan tarikan "gas." Suatu hari seorang kawan pernah berujar, hidup ini arena-arena negosiasi. Entahlah, sampai sekarang saya terus menabrakan kata-katanya dengan apa yang saya alami. Seperti kata Haruki Murakami, teori itu medan pertempuran dalam kepala. Begitulah keadaan saya kini.Maaf,komentar balik saya harus disudahi. Salam bagi kita semua... Semoga dimudahkan semua urusan.
Posting Komentar