Lampu jalan masih ber-nyala, begitu setiap pagi dan embun-embun di daun-daun akasia yang gugur, dua pemandangan yang selalu menyejukkan untuk memulai hari. Tak seorang pun melintas di jalan. Hanya dua ekor burung, terbang rendah lalu singgah di atas kabel yang melintang tak rapi di depan rumah. Tak ada siulan, mereka terdiam malas, tak seperti biasanya, selalu ramai saat aku membuka jendela kamar.
Air di atas kompor sudah mendidih, aku melangkah menuju meja makan, mengambil cangkir berisi kopi dan sesendok gula tanpa susu yang telah kusiapkan lima menit lalu. Aku selalu suka dengan aroma kopi yang diseduh dengan air mendidih, menghirup uapnya dengan hidung yang kutodongkan di bibir cangkir, harum menenangkan seperti pagi ini.
Kurapikan sisa pekerjaan semalam yang masih berserakan di meja kerja, kertas-kertas dan jadwal-jadwal yang mesti kujalani sepanjang pagi hingga sore nanti. Di jalan, anak-anak tetangga ramai berlalu, berseragam merah dan biru. Aku merindukan masa-masa seperti mereka, muda tanpa kecemasan akan hari esok. Tapi kurasa hari ini apa yang dirasakan anak-anak itu berbeda dengan apa yang kualami dulu. Seminggu lalu, kusempatkan ke rumah ibu Ratna, tetangga sebelah rumah. Ia bercerita banyak, dari desas desus tetangga yang lain hingga kesibukan dua anaknya dengan jadwal-jadwal yang padat mulai dari les musik, bahasa asing yang tak hanya satu hingga latihan renang dua kali seminggu.
Sangat berbeda dengan yang kualami saat di kampung dulu, dunia sekaligus kesenanganku tiada lain menggantikan ibu di dapur dan mengurus dua adik laki-lakiku. Setelah bapak meninggal, ibu menghabiskan waktu berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya membawa barang dagangannya di pasar-pasar yang dibuka bergiliran sekali dalam lima hari. Banyak hal yang berbeda dan aku begitu bodoh tak pernah memberi ruang untuk sedikit peka dengan keadaan disekitarku. Beberapa tahun ini duniaku hanya kertas, angka-angka, seperangkat PC dan ruangan dua kali dua meter.
Saat memikirkan itu kembali, aku ingat ibu dan kampung halamanku, mengingat tentang masa bertahun-tahun lalu ketika berseragam merah dan biru, saat pertama kali aku belajar mengemudikan sepeda, saat ibu pamit dengan menitip dua anaknya padaku. Aku merindukan mereka, khususnya ibuku yang telah sebulan ini tak pernah kutanyakan kabarnya. Betapa angkuh aku sebagai anaknya dan di pagi ini sesuatu mengaburkan mataku, kubiarkan ia jatuh menuruni kedua pipiku.
2 komentar:
Mantap, tiba-tiba saja ibu hadir-mengisi kehampaan...
:) semoga beliau-beliau diberi kesenangan sebagaimana mereka memberi kita kesenangan di masa kecil.
Posting Komentar