Hampir pukul setengah 7 malam, hujan deras belum berhenti. Saya bersiap, mengenakan jaket parasut biru, selalu setia sejak dibeli sekaligus benda paling berharga di saat cuaca seperti ini. Seorang tetangga berbaik hati hendak meminjamkan payung, tapi jaketku ini sudah cukup kataku. Lalu, tanpa niat untuk heroik atau pun mendramatisir diri sendiri, saya berjalan menembus garis-garis hujan dan menyusur genangan-genangan air yang membuat alas kakiku basah.
Saya berdiri di pinggir jalan
menahan salah satu pete-pete, lalu melaju ke arah yang belum kupastikan.
Dikepalaku masih berputar beberapa tempat, akhirnya tak satu pun yang
kuputuskan. Kubiarkan perjalanan ini mengambil kemudi dan mengendalikan arahku.
Seringkali begitu, sejak kusadari setiap tempat memiliki auranya masing-masing.
Hujan masih deras, saya duduk di
bangku dekat pintu, hanya saya sendiri, di samping sopir juga tak ada
penumpang. Sempat ku lirik bangku di sudut bagian belakang, tapi tak ku pilih,
meski tempat itu salah satu posisi paling nyaman untuk memandang dan paling
nyaman untuk mengasingkan diri dari penumpang lainya. Kali ini aku ingin
memandang hujan, memandang bias-bias cahaya lampu tanpa kaca, tanpa sekat
transparan.
Jalan masih ramai, selalu, sejak
bebeberapa tahun ini. Sejak kendaraan beroda dua laris bak barang-barang
diskon, sejak pembelian lewat kredit menjadi trend dan mendominasi. Tak peduli
hujan deras, tak peduli dinginnya angin yang mengerutkan paru-paru, mesin-mesin
dan orang-orang terus saja berkelebat.
Beberapa hari ini kuhabiskan malam di depan layar PC, mataku sampai kelelahan terbawa hingga sepanjang hari. Kotak elektrik itu menyerap dan memerasku habis-habisan. Tapi begitulah harga yang harus ku bayar atas keranjingan dengan aksara-aksara yang tak kutemui cetakannya di kertas-kertas, atau pun di toko-toko buku.
Kemarin malam dan malam
sebelumnya lagi, lewat layar itu ku baca biografi Gabriel Gracia Marques, si
penulis novel kesohor One Hundred Years
of Solitude. Banyak kosa kata baru yang kudapatkan dan itu berarti satu
dimensi dari kompleksnya dunia pemahaman manusia terhadap pengalamannya
tertransformasi dalam kepalaku. Selain itu biografi berbentuk ebook tersebut begitu menginspirasi.
Tapi saya tak hendak menceritakan isinya, malam ini saya hanya memandang hujan
dari pete-pete meski sebentar itu sudah cukup membawaku pada nostalgia.
*******
Sekarang minggu ke tiga di bulan
april, saat ini di Manjangloe hujan telah berakhir dan kenanganku tentang
tempat itu baru saja terbuka. Tapi aku hanya ingin memusatkan bukan pada tempat
tapi pada seorang remaja yang mengantarku di malam itu, malam terakhir saat
keesokan siangnya aku harus berangkat kembali menuju Makassar.
Oktober 2009, hampir memasuki
minggu ke tiga dan kemarau masih menyengat panas. Tanah-tanah yang terbelah
mengeluarkan bau-bau kerinduannya, terus berlangsung hingga desember tiba, di
bulan itu hujan akan membasahi kecamatan Manjangloe yang berada dalam wilayah
kabupaten Jeneponto. Bulan itu adalah waktu mengumpulkan berkah dari
tanah-tanah yang basah, dari bawang-bawang yang menjadi tanaman utama
masyarakat di sana.
Di antara beberapa warga yang ku
kenal salah satunya seorang remaja lelaki.
Namanya Lukman, saat itu ia sedang duduk di bangku sekolah menengah
kejuruan dengan jurusan perkantoran. Mimpinya hanya satu, menjadi Pegawai
Negeri Sipil di kantor kelurahan, sebagaimana yang ia katakan padaku. Ketika ku
tanya mengapa ia sangat tertarik untuk
menjadi PNS. Ia menjawab dengan cara itu ia akan dipandang oleh orang-orang,
suaranya akan didengar saat ia berbicara.
Siang sebelumnya saya berbicara
dengan seorang pria, belakangan saya tahu ia adalah kakak ipar Lukman. Ia
bercerita tentang usahanya untuk meyakinkan adik iparnya agar terus melanjutkan
sekolah dan terus melamar menjadi PNS. Bagi kakak iparnya dengan menjadi PNS
Lukman akan menjadi wakil bagi suara-suara mereka khususnya menyangkut
pembangunan di kampung mereka. Lukman remaja mengamini logika kakak iparnya dan
membuatnya menjadi mimpi, cita-cita yang harus dicapai. (tentang hal ini lihat juga tulisan ini )
Siang itu kuterima pesan maafnya karena
tak bisa mengantarku dan sejak itu kami tak pernah lagi bertemu atau berbalas
pesan. Kini dua setengah tahun sudah. Bagaimana
kabarnya dan bagaimana mimpinya sekarang, aku sama sekali tak mengetahuinya. Mimpinya
yang terkadang dianggap terlampau sederhana dan remeh oleh sebagian orang lahir
dari fenomena sosial masyarakat kita yang ternyata tidak sesederhana atau
seremeh prasangka kita. Aku hanya
berharap semoga mimpinya terwujud.
0 komentar:
Posting Komentar