Selasa, 19 April 2011

Hujan di Bulan April

 

Hampir pukul setengah 7 malam, hujan deras belum berhenti. Saya bersiap, mengenakan jaket parasut  biru, selalu setia sejak dibeli sekaligus benda paling berharga di saat cuaca seperti ini. Seorang tetangga berbaik hati hendak meminjamkan payung, tapi jaketku ini sudah cukup kataku. Lalu, tanpa niat untuk heroik atau pun mendramatisir diri sendiri, saya berjalan menembus garis-garis hujan dan menyusur genangan-genangan air yang membuat alas kakiku basah.

Saya berdiri di pinggir jalan menahan salah satu pete-pete, lalu melaju ke arah yang belum kupastikan. Dikepalaku masih berputar beberapa tempat, akhirnya tak satu pun yang kuputuskan. Kubiarkan perjalanan ini mengambil kemudi dan mengendalikan arahku. Seringkali begitu, sejak kusadari setiap tempat memiliki auranya masing-masing. 

Hujan masih deras, saya duduk di bangku dekat pintu, hanya saya sendiri, di samping sopir juga tak ada penumpang. Sempat ku lirik bangku di sudut bagian belakang, tapi tak ku pilih, meski tempat itu salah satu posisi paling nyaman untuk memandang dan paling nyaman untuk mengasingkan diri dari penumpang lainya. Kali ini aku ingin memandang hujan, memandang bias-bias cahaya lampu tanpa kaca, tanpa sekat transparan.

Jalan masih ramai, selalu, sejak bebeberapa tahun ini. Sejak kendaraan beroda dua laris bak barang-barang diskon, sejak pembelian lewat kredit menjadi trend dan mendominasi. Tak peduli hujan deras, tak peduli dinginnya angin yang mengerutkan paru-paru, mesin-mesin dan orang-orang terus saja berkelebat.   


Beberapa hari ini kuhabiskan malam di depan layar PC, mataku sampai kelelahan terbawa hingga  sepanjang hari. Kotak elektrik itu menyerap dan memerasku habis-habisan. Tapi begitulah harga yang harus ku bayar atas keranjingan dengan aksara-aksara yang tak kutemui cetakannya di kertas-kertas, atau pun di toko-toko buku. 


Kemarin malam dan malam sebelumnya lagi, lewat layar itu ku baca biografi Gabriel Gracia Marques, si penulis novel kesohor One Hundred Years of Solitude. Banyak kosa kata baru yang kudapatkan dan itu berarti satu dimensi dari kompleksnya dunia pemahaman manusia terhadap pengalamannya tertransformasi dalam kepalaku. Selain itu biografi berbentuk ebook tersebut begitu menginspirasi. Tapi saya tak hendak menceritakan isinya, malam ini saya hanya memandang hujan dari pete-pete meski sebentar itu sudah cukup membawaku pada nostalgia.  


*******

Sekarang minggu ke tiga di bulan april, saat ini di Manjangloe hujan telah berakhir dan kenanganku tentang tempat itu baru saja terbuka. Tapi aku hanya ingin memusatkan bukan pada tempat tapi pada seorang remaja yang mengantarku di malam itu, malam terakhir saat keesokan siangnya aku harus berangkat kembali menuju Makassar.  


Oktober 2009, hampir memasuki minggu ke tiga dan kemarau masih menyengat panas. Tanah-tanah yang terbelah mengeluarkan bau-bau kerinduannya, terus berlangsung hingga desember tiba, di bulan itu hujan akan membasahi kecamatan Manjangloe yang berada dalam wilayah kabupaten Jeneponto. Bulan itu adalah waktu mengumpulkan berkah dari tanah-tanah yang basah, dari bawang-bawang yang menjadi tanaman utama masyarakat di sana. 

Di antara beberapa warga yang ku kenal salah satunya seorang remaja lelaki.  Namanya Lukman, saat itu ia sedang duduk di bangku sekolah menengah kejuruan dengan jurusan perkantoran. Mimpinya hanya satu, menjadi Pegawai Negeri Sipil di kantor kelurahan, sebagaimana yang ia katakan padaku. Ketika ku tanya mengapa ia sangat  tertarik untuk menjadi PNS. Ia menjawab dengan cara itu ia akan dipandang oleh orang-orang, suaranya akan didengar saat ia berbicara.

Siang sebelumnya saya berbicara dengan seorang pria, belakangan saya tahu ia adalah kakak ipar Lukman. Ia bercerita tentang usahanya untuk meyakinkan adik iparnya agar terus melanjutkan sekolah dan terus melamar menjadi PNS. Bagi kakak iparnya dengan menjadi PNS Lukman akan menjadi wakil bagi suara-suara mereka khususnya menyangkut pembangunan di kampung mereka. Lukman remaja mengamini logika kakak iparnya dan membuatnya menjadi mimpi, cita-cita yang harus dicapai. (tentang hal ini lihat juga tulisan ini )

Siang itu kuterima pesan maafnya karena tak bisa mengantarku dan sejak itu kami tak pernah lagi bertemu atau berbalas pesan. Kini dua setengah tahun sudah.  Bagaimana kabarnya dan bagaimana mimpinya sekarang, aku sama sekali tak mengetahuinya. Mimpinya yang terkadang dianggap terlampau sederhana dan remeh oleh sebagian orang lahir dari fenomena sosial masyarakat kita yang ternyata tidak sesederhana atau seremeh prasangka kita.  Aku hanya berharap semoga mimpinya terwujud.

0 komentar:

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates