Mei lalu, mace memintaku pulang. "Dua tiga hari tak mengapa" katanya dengan suara yang telah ditelan usia tua. Rasa engganku untuk pulang takluk. Pukul satu siang, Bento mengantarku ke terminal dengan sepeda motor milik seorang kawan.
Selalu ada hal-hal yang "mengejutkan" pada setiap tempat. Kali ini kejutan itu kutemui dari perbincangan mace dengan seorang menantunya. Ia bercerita tentang keluarga menantunya memanggil kakak hanya dengan sebutan bapak dari anaknya, tanpa panggilan status menurut kebangsawanannya. Menurut keluarga menantunya, budaya seperti itu hanyalah berlaku di waktu dulu, sekarang penghormatan atas seseorang dilihat dari peranan mereka dalam pemerintahan seperti pejabat negara hingga pegawai negeri sipil. Seolah tak perduli, kusimak pembicaraan itu. Perbincangan yang sangat menarik pikirku. Ini menyangkut benturan pandangan yang tidak dapat dilepaskan dari perubahan konsep kekuasaan tradisional menuju modern.
Meski pernah hidup di zaman ketika gelar-gelar kebangsawanan memiliki ruang kuasanya, pace dan mace tak pernah menanamkan kepada kami anak-anaknya tentang hal tersebut. Suatu saat yang tak lagi kuingat dengan pasti, ketika gagasan baru tumbuh seiring usia, aku mulai menyadari maksud mereka tak mewariskan ingatan tersebut. Mereka juga belajar untuk menerima dan pasrah pada perubahan zaman.
Dua malam berlalu kurasa amat cepat, seperti biasa sifat kerasku tak dapat dilunakkan. Pukul 7.30 malam, diiringi doa dan kasih kutinggalkan mereka. Mereka juga telah belajar ditinggalkan oleh anak-anak mereka. Di dalam bis yang melaju saya teringat perkataan pace semasa kecil, "suatu saat jika kamu mencintai perempuan, kamu akan 'melupakan' kami."
0 komentar:
Posting Komentar